Draf Perpres TNI Dinilai Bisa Menyulitkan Pengungkapan Jaringan Teroris

Draf Perpres TNI Dinilai Bisa Menyulitkan Pengungkapan Jaringan Teroris
Ilustrasi TNI. Foto: Ricardo/JPNN

“Penindakan dilakukan TNI secara langsung ketika ada perintah presiden. Pengerahan TNI sendiri dalam UU TNI harus ada persetujuan DPR,” bebernya.

Safa’at menuturkan, secara tegas bila melihat Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, maka jelas kerangkanya adalah penegak hukum, dalam hal ini adalah Polri.

Tugas TNI disampaikan Safa’at menurut UU Tindak Pidana Terorisme seharusnya bersifat perbantuan apabila diperlukan dan melihat bentuk dan eskalasi ancaman.

Karena perpres merupakan pelaksanaan dari UU Penberantasan Terorisme, seharusnya frame yang dianut adalah UU Terorisme, bukan undang-undang yang lain. Namun faktanya, substansi Perpres tersebut framenya justru banyak mengambil dari UU TNI, bukan UU tindak pidana terorisme.

Komisioner Komnas HAM Choirul Anam yang juga menjadi narasumber dalam diskusi ini menambahkan, dinamika ingin terlibatnya TNI dalam pemberantasan terorisme sebenarnya sejak lama.

Bahkan menurutnya, draf perpres yang telah diserahkan ke DPR sejak awal Mei 2020 ternyata drafnya sama dengan yang sebelumnya diajukan beberapa tahun lalu.

Dia pun menyarankan DPR dalam pertimbangannya untuk menolak perpres tersebut. Sementara presiden diingatkan untuk mendengarkan suara rakyat yang meminta pencabutan draf perpres tersebut.

Choirul mewanti-wanti, tanpa adanya kontrol dari parlemen, maka presiden sebagai panglima tertinggi dapat ikut terseret bila militer melakukan pelanggaran HAM dalam penanganan terorisme.

Draf Perpres TNI dinilai bisa menyulitkan penegak hukum dalam pengungkapan jaringan teroris.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News