Draf Revisi UU TNI Disorot, Dianggap Kemunduran Bagi Demokrasi

Draf Revisi UU TNI Disorot, Dianggap Kemunduran Bagi Demokrasi
Diskusi Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan soal revisi UU TNI. Foto: Centra Initiative

"Pasal-pasal tentang penambahan fungsi militer akan memberikan involusi atau kemunduran bagi demokrasi Indonesia dan TNI itu sendiri," ujarnya.

Al Araf menegaskan bahwa militer tidak boleh melakukan operasi tanpa keputusan presiden. Namun, dalam draft RUU TNI, tentara dibolehkan mengambil tindakan tanpa keputusan presiden.

"Artinya sama saja draf RUU TNI memberikan ruang kepada militer untuk melakukan kudeta," sebut Al Araf.

Sementara itu, Direktur Elsam Wahyudi Djafar menyampaikan kekaryaan militer dimaknai secara tidak tepat. Konsep tentang keamanan komprehensif direspons dengan militerisasi di mana seharusnya keamanan semesta tidak semata-mata mengandalkan militer.

"Ruang diskusi antara militer dan DPR belakangan ini juga tidak terjadi dengan baik. DPR gagal melakukan sejumlah agenda reformasi sektor keamanan, di antaranya adalah revisi UU No. 31 tahun 1997 terkait peradilan militer," ucapnya.

Dia menyebut bahwa agenda reformasi peradilan militer dituliskan secara eksplisit dalam Nawacita I Presiden Jokowi pada tahun 2014. Hal itu mengundang pertanyaan mengapa janji politik Jokowi tidak pernah serius dibahas di DPR.

"Gagalnya DPR dan pemerintah dalam mereformasi peradilan militer juga menimbulkan berbagai persoalan turunan. Padahal, revisi UU peradilan militer tersebut merupakan mandat dari UU TNI," tuturnya.

Selain itu, dia menyebut ketiadaan hukum acara tata usaha militer membuat pelanggaran terhadap tata usaha militer tak dapat diproses karena tidak ada hukum acara yang mengatur.

Koalisi masyarakat sipil kembali menyoroti draf revisi UU TNI yang dianggap sebagai kemunduran bagi demokrasi di Indonesia. Begini analisisnya.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News