Dua Anaknya Dinamai Seperti Nama Pesawat

Dua Anaknya Dinamai Seperti Nama Pesawat
Ratu Farihah di depan pesawat latih yang dipakai untuk training.
”Saat melihatnya hati saya selalu berdesir,” kata alumnus JFS 1990 tentang panggilan untuk kembali terbang itu. Di JFS, Tatu satu angkatan dengan mendiang Captain Fierda Panggabean, pilot Merpati yang meninggal bersama 30 orang kru-penumpang pada kecelakaan di kawasan Pegunungan Papandayan, Jabar, 18 Oktober 1992.

Banyak kalangan yang menuding kecelakaan yang dialami Fierda Panggabean itu ”menyusutkan” jumlah populasi pilot wanita di Indonesia. Namun, Tatu tidak menghiraukannya. ”Saya tidak pernah berhenti bermimpi untuk kembali terbang,” katanya.

Kecintaan Tatu terhadap aktivitas penerbangan membuat dua anaknya menjadi “korban”. Sang buah hati itu memiliki nama yang berbau pesawat terbang yang jadi idola Tatu. “Bapaknya nggak boleh protes,” candanya.

Anaknya yang pertama bernama Radhian Aztecco, 22, yang diambil dari nama pesawat Aztec. Sedangkan yang kedua, Dhivracca Cheyenne, 21, diambil dari pesawat Cheyenne yang kecil tapi lincah. “Keluarga saya sangat mendukung aktivitas saya. Mereka (anak-anak) juga bangga,” katanya.

Beda dengan teman-temannya yang setelah lulus jadi pilot komersial, Tatu memang memilih jadi instruktur. Dia mengaku puas mengajar dan bisa menelurkan para pilot. Namun, krisis finansial 1997-1998 meluluhlantakkan semuanya. Tak terkecuali JFS yang dimiliki almarhum Yunus ini. Sebab,  sekolah ini memang berbasis dolar. Saat dolar melonjak, banyak siswa yang tak mampu lagi membiayai sekolahnya.

Tatu bersyukur pernah mendapat didikan ”semi” militer selama belajar di JFS. Lain dengan sekolah penerbangan saat ini yang metodenya seperti kuliah.  Sikap fight  inilah yang dia tekankan dalam mendidik anak-anak di keluarga, sehingga bisa bertahan saat menghadapi masa sulit.  

Setelah sekitar delapan tahun vakum tidak lagi menjadi instruktur penerbangan, dia mendapat tawaran dari Alfa Flying School yang berbasis di lapangan Halim Perdana Kusuma, Jakarta. Booming industri penerbangan di tanah air membuat akan kebutuhan pilot meningkat. Termasuk menghidupkan lagi sekolah-sekolah calon penerbang.

Sejak 2007 lalu dia kembali menekuni aktivitas sebagai instruktur pilot. Pada awalnya memang tak mudah. Namun, seperti naik sepeda, kemampuan menjadi pilot ternyata tidak pernah hilang.  “Saya seperti mimpi saat tahu bisa kembali terbang. Saya kemudian belajar-belajar lagi, mengingat-ingat. Di satu titik, kemudian semuanya kembali terbuka buat saya,” paparnya.

Ada perasaaan aneh yang dialami oleh seseorang setelah merasakan terbang. Bahkan ketika tidak bisa terbang, ada perasaan berdesir setiap kali melihat

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News