Dukacita bagi Guru, Sahabat dan Cendekiawan Soekarnois: Bung Cornelis Lay

Oleh Hasto Kristiyanto*

Dukacita bagi Guru, Sahabat dan Cendekiawan Soekarnois: Bung Cornelis Lay
Prof. Dr. Cornelis Lay, M.A saat menyampaikan pidato dalam pengukuhannya menjadi guru besar FISIPOL UGM, 6 Februari 2019. Foto: dokumentasi pribadi Hasto Kristiyanto

Bahkan di era politik kontemporer saat ini, praktik menghalalkan segala cara untuk mencapai kekuasaan masih terus dilakukan. Banyak aktor politik melakukan pembunuhan karakter, fitnah, sampai pada penghilangan nyawa politikus lawan sebagai satu hal yang biasa.

Refleksi kritis atas berbagai praktik politik kotor yang dialami Ibu Megawati dan PDI Perjuangan, bagi sosok Cornelis Lay menjadi api harapan bahwa jalan politik bukan semata-mata meraih kekuasaan, tetapi bersatu dengan rakyat dalam bahasa kemanusiaan, karena politik itu berkeadaban. Politik berkeadaban dan jalan kemanusiaan itulah buah ‘dialog batin’ antara Ibu Megawati dan Mas Cony.

“Sebagai politisi, setiap kader PDI Perjuangan harus mengedepankan politik kemanusiaan, politik humanis, sebagai perwujudan ilmu dan amal,” ujar Mas Cony suatu ketika.

Dalam suatu perjalanan pulang pasca-momen Sidang Umum MPR 1999, ketika saya masih awam terhadap berbagai bentuk ‘penjegalan politiik’, saya mencatat kata bijak sosok pemikir pejuang tersebut:

“Antara pemilu legislatif dan apa yang terjadi di Sidang Umum MPR 1999 seharusnya merupakan satu napas kehendak rakyat, one electoral process. Etika dan moral kekuasaan politik inilah yang harus dipegang. Untuk apa sebuah kemenangan dalam kontestasi politik bila harus mengoyak rasa keadilan dan rasa kemanusiaan serta mengabaikan kehendak rakyat yang disuarakan melalui pemilu. Maka politik tidak boleh kehilangan watak kemanusiaan itu.”

Jalan kemanusiaan adalah esensi pokok semangat pembebasan yang dikumandangkan oleh Bung Karno. Suatu jalan yang dipraktikkan dalam politik melaui cara berpikir dialektis dan kritis. “Sebab yang diubah bukan hanya tatanan hidup, tetapi juga mentalitet, dan struktur sosial yang tidak adil,” ucap Mas Cony yang kata-katanya selalu merasuk ke dalam pikiran saya.

Karena itulah, saya tidak heran atas gagasan jalan ketiga peran intelektual yang digagas Prof. Dr. Cornelis Lay, M.A dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar UGM. Semuanya bertopang dari daya kritisnya.

Melalui daya kritis dan tradisi intelektual yang sama, Mas Cony memberikan pemaknaan secara akademis atas label melekat yang ditujukan ke PDI Perjuangan seperti demokrasi arus bawah, mimbar demokrasi, posko gotong royong, penggembira politik, hingga label PDI Perjuangan sebagai Partai Wong Cilik. Pemaknaan secara akademis tersebut menjadi basis intelektual atas proses konsolidasi demokrasi dan kristalisasi ideologi.

Selamat jalan, Mas Cony. Engkau telah pergi, namun pemikiranmu akan makin bersemi.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News