Eksistensi Suap Hakim, Mafia Hukum dan Peradilan di Indonesia: Penyakit Kronik dan Upaya Penanggulangannya

Kita tidak membicarakan terlebih dahulu soal kapasitas dan kualitasnya, karena pada akhirnya bergantung pula pada “Koneksi”.
Persoalan ini diperparah dengan sistem pembinaan karir yang tidak meritokratis. Sistem reward and punishment dikhawatirkan hanya menjadi slogan karena pada akhirnya tetap yang bisa menjaga keseimbangan dengan “penguasa yang sudah ada”. Hal ini seperti lingkaran setan.
Ketiga adalah permasalahan rendahnya gaji hakim dan kesejahteraannya dibandingkan dengan beban kerja dan godaan suap yang jauh timpang.
Meskipun kini gaji dan tunjangan hakim sudah dinaikkan, tidak serta merta membuat hakim merasa “aman” dan tercukupi.
Krisis ekonomi mempengaruhi dan beban kerja terutama di wilayah yang sangat sulit, membuat para hakim dan aparat kemudian berusaha untuk pindah ke pusat atau daerah-daerah kota yang bagus.
Para personil ini melihat status dari wilayah kerja seperti daerah basah/bagus atau sulit. Inilah yang kemudian membuat stigma negatif dari para hakim dan aparat dalam menentukan wilayah kerja.
Kecenderungan untuk hidup lebih layak dan mudah menjadi salah satu dasar pilihan atau motivasi.
Selanjutnya adalah banyaknya intervensi dan minimnya pengawasan. Mengapa saya menyatukan dua permasalahan ini, yakni karena pengaruh dari luar (mafia) cukup tinggi.
Beberapa waktu lalu kita mendengar kembali Kejaksaan Agung menangkap empat hakim dan dua orang pengacara, serta seorang panitera, terkait kasus ekspor CPO.
- Pimpinan Komisi III Minta Polisi Tindak Perusuh Saat May Day di Semarang
- Minta Kepastian Hukum Bagi Buruh, Sahroni: Upah Dibayarkan, Jangan Ada Ijazah Ditahan
- Kunker ke Kepulauan Riau, BAM DPR Berjanji Serap Aspirasi Warga Rempang
- Penegak Hukum Harus Ungkap Semua Perkara yang Diatur Zarof Ricar
- Ketua Komisi II DPR Sebut Kemandirian Fiskal Banten Tertinggi di Indonesia pada 2024
- 2 Hakim Ini Diperiksa Kejagung terkait Kasus Suap Rp 60 Miliar