Empat Putra Petir untuk Prof Widjajono

Empat Putra Petir untuk Prof Widjajono
Empat Putra Petir untuk Prof Widjajono
Sejak 15 tahun lalu, kita memang tidak pernah punya kemampuan membangun kilang baru. Kilang terbaru kita umurnya sudah 18 tahun. Yakni, kilang Balongan, Jabar, yang dibangun Presiden Soeharto di tahun 1994. Presiden-presiden berikutnya tidak sempat memikirkan pembangunan kilang baru. Padahal, jumlah kendaraan terus bertambah. Akibatnya, impor BBM tidak bisa dihindarkan. Bahkan terus meningkat.

   

Baru tahun lalu Presiden SBY memutuskan untuk membangun kilang tambahan di Cilacap. Tahun ini Presiden SBY juga sudah memutuskan untuk membangun dua kilang lagi. Tapi, Pertamina tidak mungkin membiayai pembangunan kilang-kilang itu sendirian. Sebuah kilang dengan kapasitas 300.000 barel memerlukan biaya investasi sampai Rp 70 triliun. Bayangkan kalau harus membangun tiga kilang sekaligus.

   

Pertamina harus menggandeng investor. Mencari investor pun tidak mudah. Di samping biayanya sangat besar, masih ada kesulitan lain: Sebuah kilang baru bisa dibangun manakala sudah diketahui jenis minyak mentah seperti apa yang akan diproses di situ. Beda jenis minyak mentahnya, beda pula desain teknologinya.

   

Para pemilik minyak mentah tahu posisi strategisnya itu. Mereka bisa mendikte banyak hal: mendikte harga dan mendikte pasokan. Investor kilang yang ingin masuk ke Indonesia, misalnya, meminta berbagai syarat yang luar biasa beratnya: Tanahnya seluas 600 ha harus gratis, pemerintah harus menjamin macam-macam, dan pajaknya minta dibebaskan dalam masa yang sangat panjang.

   

SAYA terkesan dengan logika berpikir Prof Widjajono Partowidagdo, wakil menteri ESDM yang baru saja meninggal dunia di pendakiannya ke Gunung Tambora,

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News