Empat Semester untuk Ajaran Bung Karno

Oleh Dahlan Iskan

Empat Semester untuk Ajaran Bung Karno
Foto: disway.id

Itulah yang ingin disatukan oleh Bung Karno. Lewat Nasakom (nasionalis, agama, komunis). Saya masih ingat lagunya: Nasakom Bersatu. Tapi tidak hafal lagi.

Dinyanyikan di pawai-pawai peringatan hari apa saja. Sampai ke desa-desa. Barisan pawai pun selalu terdiri tiga kelompok.

Paling depan regu PNI. Dengan spanduk-spanduknya. Yang terbuat dari lembaran karung goni. Kain mahal. Untuk pakaian saja kurang.

Di desa saya selalu saja: regu PKI-nya paling panjang. Juga paling heboh. Pasti ada reog ponorogonya. Ada jatilannya. Ada teriakan-teriakan yelnya: Nasakom, hidup! Ganyang tujuh setan desa!

Tahun-tahun itu memang tahun perebutan pengaruh. Saling mengambil hati Bung Karno. Saling ingin paling dipercaya. Saling ingin terasa paling dekat.

Apalagi ketika Bung Karno mulai sakit. Perebutan pengaruh itu memuncak. PKI pintar ambil perhatian Bung  Karno. Dengan rapat-rapat raksasanya. Belum ada istilah rapat akbar saat itu.

Bung Karno pandai pidato – suka pidato. Bisa tiga jam. Dengan tetap memikat. Bung Karno  terbius dengan panggung-panggung besar seperti itu.

Kesannya: Bung Karno kian dekat PKI. Atau memang begitu. Hanya Bung Karno sendiri yang tahu.

Bung Karno tidak mau mematikan demokrasi sepenuhnya. Tahun 1955 diadakan pemilu. Terluber dalam sejarah. Luber: langsung, umum, bebas, rahasia.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News