Eulis Rosmiati, 20 Tahun Menjadi Bidan di Desa Sangat Terpencil dan Tertinggal

Tergugah ketika Melihat Dapur Jadi Tempat Bersalin

Eulis Rosmiati, 20 Tahun Menjadi Bidan di Desa Sangat Terpencil dan Tertinggal
Eulis Rosmiati. Foto; Dhimas Ginanjar/ JAWA POS
 

"Ketika awal-awal bertugas di desa itu pada 1991, saya sempat gundah," ceritanya. "Minimnya sarana dan infrastruktur serta sulitnya medan yang harus saya tempuh sempat membuat saya hampir menyerah," lanjutnya. Namun, kondisi yang sulit tersebut justru memacu semangatnya.

 

Yang menjadi cambuk bagi Eulis kala itu, di desa tersebut tidak ada lagi bidan. Sulitnya medan juga membuat dia yakin bahwa warga sangat mengandalkan kehadiran dirinya. Harapan tinggi wargalah yang akhirnya membuat lulusan sekolah bidan di Bandung tersebut bertekad untuk bisa berbuat sesuatu.

 

Dia mulai mempelajari karakteristik warga. Mulai pola menjaga kesehatan, budaya dalam persalinan, hingga penanganan dalam keadaan darurat. "Ternyata, semua masih dilakukan secara tradisional dengan sedikit klenik," jelasnya.

 

Dia lantas mencontohkan masalah persalinan. Setiap ibu yang akan bersalin (melahirkan) selalu dibawa ke dapur. Tak cukup itu, si ibu harus berada di kolong tempat tidur. Di kolong sempit itulah sang ibu berjuang melahirkan bayi bersama dukun. "Menurut keyakinan mereka, ibu melahirkan itu kotor. Karena itu, harus dibawa ke dapur," tuturnya.

Menjadi bidan di desa yang sangat terpencil di Jawa Barat, bagi Eulis Rosmiati, dianggap sebagai pengabdian. Hingga kini, 20 tahun sudah dia mengabdi.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News