Franchise Muhammadiyah

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Franchise Muhammadiyah
Dhimam Abror Djuraid. Foto: Ricardo/JPNN.com

Sementara Muhammadiyah mirip holding company atau perusahaan induk yang menjadi payung bagi operasionalisasi semua aktivitas AUM (amal usaha Muhammadiyah) di seluruh Indonesia.

Pengelolaan holding company, seperti sekolah, rumah sakit, universitas, panti asuhan, dan aset-aset lain dalam bentuk properti, dilakukan secara profesional dengan prinsip manajemen modern.

Dua organisasi itu sama-sama dilahirkan oleh tokoh-tokoh yang mempunyai latar belakang saudagar.

NU lahir di Surabaya oleh K.H Hasyim Asy’ari pada 1926, dan Muhammadiyah lahir terlebih dahulu di Yogyakarta oleh K.H Ahmad Dahlan pada 1912.

Dua tokoh ini sama-sama mencecap ilmu keagamaan dari Mekkah dari guru-guru yang sama.

Perbedaan-perbedaan fiqhiyyah atau furu’iyah di masa lalu menjadi sumber perbedaan yang serius dan distinktif.

NU membaca usholli sebelum salat. Muhammadiyah tidak. NU membaca qunut ketika salat subuh, Muhammadiyah tidak. Dalam pelaksaan jumatan di masjid NU ada tongkat dan ada bilal yang membaca ‘’anshitu’’, di Muhammadiyah tidak ada. Perbedaan-perbedaan itu trivial, alias dangkal, dan seharusnya neglectable, bisa diabaikan.

Sekarang sudah banyak masjid yang menjalankan tata cara ibadah hybrid, campuran NU dan Muhammadiyah. Perbedaan furu’iyah sudah semakin tipis terutama di kalangan masyarakat perkotaan. Di pedesaan perbedaan masih ada, tetapi sudah tidak menjadi sumber pesengetaan yang sengit seperti di masa lalu.

Menjelang suksesi 2024 yang krusial, NU dan Muhammadiyah menjaga jarak dari partai politik yang dibidaninya.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News