Freddy Harris: Tinggal Pilih, Copyright atau Copyleft?

Freddy Harris: Tinggal Pilih, Copyright atau Copyleft?
Para narasumber sarasehan Perhimpunan Penulis Satupena bertema “HKI: Copyright atau Copyleft” yang digelar secara daring. Foto: Flyer @Satupena

Hak cipta juga middle way, Indonesia menggunakan istilah hak cipta tahun 1982 untuk menjadi kompromi atas dua mazhab.

“Karena copy right bersifat territorial, maka ada pembajakan di luar negeri kemudian muncul kesepakatan atau Berne Convention 1886 diprakarsai oleh ALAI atau Asosiasi Penulis yang diketuai oleh Vivtor Hugo. Di Berne Convention pun tidak disebut Copyright,” ujar Chandra menyinggung hak cipta.

Menurut dia, AS mencari keseimbangan antara copyright dan copyleft. Ada juga yang sangat fanatik, harus dihilangkan di muka bumi copyright itu. Juga ada partai di Swedia yang menginginkan agar copyright dihilangkan.

“Saya agak setuju kadang-kadang copyright atau authors right agak overacting. Seumur hidup plus 50 tahun hak cipta. Bahkan di AS, 100 tahun, itu overacting, karena ada kepentingan ekonomi yang besar di situ,” kata Chandra.

Chandra menjelaskan Indonesia pernah mengadopsi leftcopy, bukan copyright, tidak menghargai hak cipta.

Pada 1958, Indonesia keluar dari Bern Convention. Selama 28 tahun Indonesia tidak menghargai hak cipta agar intelektual bisa berkarya tanpa membayar royalty.

Tahun 1996, kita kembali menghargai hak cipta. Kita harus jujur, kontribusi industri yang menghargai hak cipta, menjadi lokomotif dari pembangunan ekonomi Indonesia, karena pertumbuhannya di atas rata-rata pertumbuhan nasional.

Dari hak cipta berkembang inovasi, kita punya potensi. Karena bakat dan kreativitas kita sangat bagus. Kita harus mengandalkan SDM yang kreatif dan memiliki nilai tambah tinggi.

Dirjen Hak Kekayaan Intelektual, Kemenkumham Freddy Harris merespons perdebatan mengenai hak cipta khususnya soal copyright atau copyleft.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News