Gabungkan Lezat dan Sehat, Banjir Order dari Brand Terkemuka

Gabungkan Lezat dan Sehat, Banjir Order dari Brand Terkemuka
KREATIF: Dua dewan juri dari IFT mengapit tim Masoca-Ball (dari kiri, Ardiansyah Mallega, Alviane Beltia Leonita, dan Stella Denissa) setelah penyerahan penghargaan di Chicago, AS, pada 15 Juli lalu. Foto: Jawa Pos

Setelah berhari-hari melakukan studi literatur dan berdebat, mereka sepakat memilih Nigeria sebagai negara sasaran untuk produk yang akan mereka ciptakan. Pemilihan tersebut berdasar jumlah penderita HIV. Nigeria juga termasuk negara nomor dua setelah Afrika Selatan di Benua Afrika yang penduduknya paling banyak terjangkit HIV/AIDS.

Mereka sengaja tidak memilih Indonesia karena hampir dari seluruh temannya yang ikut berpartisipasi dalam ajang tersebut telah memilih Indonesia. Mereka memilih celah agar produk mereka bisa dilirik oleh dewan juri. ”Bukan berarti kami gak cinta Indonesia. Produk kami kan dibuat dari tanah Indonesia. Dengan kata lain, produk kami juga dapat digunakan nantinya di Indonesia,” jelas Via.

Mereka membuat produk dengan bahan baku utama jagung (Zea mays), kedelai (Soy bean), dan wortel (Carrot) yang pada akhirnya menjadi nama tim mereka Masoca. Nama tambahan Ball dilekatkan karena makanan yang mereka olah berbentuk bulat seperti bola (ball). Tiga bahan tersebut dipilih karena memiliki kandungan protein yang cukup besar. Sehingga dapat digunakan secara cepat untuk regenerasi sel para ODHA (orang dengan HIV/ AIDS).

Hasil begadang setiap hari pun berbuah manis. Mereka berhasil lolos ke tahap selanjutnya, mengalahkan teman-teman sefakultasnya dan beberapa universitas di Asia Pasifik. Masoca-Ball berhasil masuk ke dalam tiga besar wakil Asia dan Internasional bersama salah satu tim dari IPB lain, tim Sweepo dan tim dari mahasiswa pascasarjana Universiti Putra Malaysia.

Sayangnya, menjelang pelaksanaan lomba, Ardiyansah Mallega dan Stella Denissa galau karena tidak ingin melepas kesempatan untuk mengikuti pertukaran pelajar dengan Universitas Mae Fah Luang University, Chiang Rai, Thailand. Mereka harus memulai menimba ilmu di Negeri Gajah Putih tersebut beberapa minggu sebelum keberangkatan ke Chicago. Dan, izin dari Universitas Mae Fah Luang pun belum pasti bisa dikantongi. ”Terus terang,  kami juga tidak ingin rugi dua-duanya,” ujar Ardi yang dihubungi secara langsung dari Thailand. Pernyataan Ardi dibenarkan Stella.

Untungnya, mereka masih berada di Indonesia sehingga pihak kampus dapat membantu untuk memberikan arahan-arahan dalam pengambilan keputusan. Segala usaha juga dilakukan agar mereka tetap bisa mengikuti keduanya.

Dalam kekhawatiran tersebut, mereka tetap dituntut untuk menyelesaikan produk dan menyempurnakan proposal mereka. Tidak hanya baik untuk kesehatan, produknya juga harus enak di lidah. Ternyata, hal tersebut menjadi poin plus tersendiri yang mengantarkan mereka menyabet juara dua,  mengalahkan wakil dari 36 negara lain.

Demi tampil baik di level internasional, selama dua bulan mereka mendapatkan pelatihan dari pihak kampus IPB. Mereka digembleng demi tampil maksimal di depan dewan juri. Hasil luar biasa pun pantas didapatkan. Bagai kejatuhan durian runtuh, izin dari Universitas Mae Fah Luang pun diperoleh nyaris bersamaan dengan semua persiapan selesai. Mereka tetap dapat belajar di Thailand dan berangkat mengharumkan nama bangsa.

Berkat sukses meramu makanan suplemen untuk para penderita HIV/AIDS, tiga mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) menjadi juara kedua kontes pangan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News