Gagal Masuk Sekolah Bola karena Bapak Meninggal

Gagal Masuk Sekolah Bola karena Bapak Meninggal
Hendri Mulyadi, di rumahnya di Cikarang, Jawa Barat. Foto: Zulham Mubarak/Jawa Pos.
Hendri mengatakan, tindakan nekadnya itu merupakan buntut dari kekesalannya. Untuk menyaksikan pertandingan ke Senayan, dari rumahnya dia butuh waktu tiga jam dengan jarak tempuh sekitar 50 kilometer. Setiap kali timnas berlaga, dia mengaku hampir tak pernah absen. Namun, seringkali ekspektasi melihat permainan all out  Timnas Garuda Indonesia jarang terpenuhi.

"Mungkin itu buntut kekesalan saya selama ini. Mewakili suara suporter seluruh Indonesia ,saya merasa ada yang tidak benar dengan PSSI. Mencari 11 pemain bola dari 200 juta penduduk masa tidak bisa?" katanya.

Fanatisme Hendri terhadap sepakbola memang bukan main-main. Empat kali Jawa Pos bertanya tentang cita-citanya, dengan mantap dia menjawab: menjadi pemain bola! Lantas mengapa tidak menggapai mimpinya itu? Mumun menjawabnya dengan alasan klasik, karena tak ada biaya. "Sebelum almarhum bapaknya meninggal, lulus SMP Hendri sudah minta masuk sekolah bola. Tapi tidak boleh sama beliau. Kini tinggal saya yang merawat Hendri. Jadi, ya, mau tidak mau mimpi itu harus dipendam," ujarnya.

Hendri dan dua kakaknya tinggal di rumah berukuran 15x10 meter di komplek pesantren. Tiap hari sang ibu berjualan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Di ruang tamu yang hanya beralaskan karpet, tampak deretan buku dan kitab kuning terjajar rapi. Foto keluarga dan kaligrafi ditempel di tembok bercat kuning sejajar dengan stiker hijau logo Nahdlatul Ulama (NU).

Nama Hendri Mulyadi sempat terkenal. Itu terjadi setelah dia nekad menerobos masuk ke tengah lapangan Stadion Gelora Bung Karno (GBK), Rabu (6/1)

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News