Gerindra Ungkap Modus Baru Kecurangan Pilkada DKI

Gerindra Ungkap Modus Baru Kecurangan Pilkada DKI
Pilkada. Ilustrasi Foto: dok.JPNN.com

jpnn.com - jpnn.com - Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad mengaku tak puas dengan hasil Pilkada DKI Jakarta putaran pertama, 15 Februari lalu. Bahkan, dia mengungkap ada indikasi modus kecurangan baru terjadi.

Diakuinya, hasil real count rekap C1 oleh KPU DKI telah diumumkan, dan Paslon yang diusung Gerindra-PKS, Anies - Sandi ada di posisi kedua.

"Meski perolehan suara Anies-Sandi cukup tinggi dan hampir dapat dipastikan lolos ke putaran kedua, kami tetap menganggap hasil tersebut belum maksimal memenuhi harapan kami,” kata Dasco kepada JPNN.com di Jakarta, Minggu (19/2).

Hal itu dikarenakan koalisi yang mengusung pasangan nomor urut tiga, itu melihat adanya indikasi model kecurangan baru yang sedikit berbeda dengan praktik-praktik kecurangan pada Pilkada sebelumnya.

Jika selama ini kecurangan lebih didominasi pada proses rekapitulasi berjenjang yang dimanipulasi, katanya, pada Pilgub DKI Jakarta kemarin yang paling mengkhawatirkan adalah migrasi pemilih yang mengakibatkan penggelembungan pemilih di tingkatan TPS.

"Banyak sekali pemilih yang tidak dikenali warga setempat tanpa identitas yang lengkap yang memaksa untuk memilih," ungkap Dasco.

Saking banyaknya jumlah pemilih di daerah tertentu bahkan ada informasi jika pencoblosan masih terjadi setelah lewat batas waktu pencoblosan pukul 13.00 WIB.

"Saya telah melihat video antrian pemilih yang masih sangat panjang yang disebutkan di wilayah Mall of Indonesia Kelapa Gading, padahal waktu sudah menunjukkan jam 13.15.WIB. Benar atau tidaknya video tersebut harus kita verifikasi bersama," tuturnya.

Dia menilai bahwa fenomena itu cukup aneh, karena Jakarta adalah provinsi yang berwujud sebuah kota yang tidak terlalu luas jika dibandingkan dengan provinsi lain. Tidak sulit bagi siapa pun warga Jakarta, untuk memilih di TPS yang sesuai dengan KTP-nya.

Selain jarak tempuh dari satu tempat ke tempat lain paling lama hanya 3 jam naik kendaraan umum dan Pilgub dijadikan hari libur sehingga nyaris tidak ada alasan bagi pemilih untuk memilih tidak di TPS tempat dia terdaftar.

Hal lain yang mengkhawatirkan adalah sulitnya mencegah praktik politik uang di tingkat TPS. Tidak terlihat upaya maksimal pencegahan pemilih membawa HP atau kamera masuk ke dalam bilik TPS. Padahal alat komunikasi atau kamera adalah alat yang paling sering digunakan untuk transaksi politik uang.

"Foto kertas suara yang dicoblos biasanya digunakan sebagai bukti untuk mendapatkan uang suap," imbuh ketua Mahkamah Kehormatan Dewan ini.

Karena itu, informasi soal adanya politik yang tak boleh diabaikan begitu saja. Indikasi kuat adalah adanya TPS yang perolehan suara salah satu pasangan calon 100 persen. Di Jakarta, tidak ada sistem noken, dan masyarakat Ibu Kota sangat heterogen sehingga nyaris tidak masuk akal jika pasangan calon lain tidak meraih satupun suara.

Apalagi di tengah kesulitan ekonomi yang dialami sebagian besar warga Jakarta saat ini, uang sejumlah ratusan ribu sebagai imbalan memilih bisa jadi sangat efektif dilakukan untuk meraih kemenangan secara curang.

Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad mengaku tak puas dengan hasil Pilkada DKI Jakarta putaran pertama, 15 Februari lalu. Bahkan,

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News