Gunung Kawi

Oleh: Dahlan Iskan

Gunung Kawi
Dahlan Iskan (Disway). Foto: Ricardo/JPNN.com

Kalau tidak ada pandemi, kesepakatan seperti itu mustahil dicapai. "Hari itu tidak ada pilihan lain bagi kami. Sepakat atau mati," ujar seorang pedagang di situ.

Hari itu saya menemui seorang suhu dari Jakarta yang sudah lebih dahulu tiba di Kawi. Ia menunggu di lobi Hotel Gunung Kawi.

Hotel ini sekelas bintang tiga. Yang membangun konglomerat Liem Sioe Liong almarhum. Bukan sebagai investasi. Ia tidak memiliki hotel itu. Ia hanya ingin agar di Kawi ada fasilitas seperti itu.

Pemilik hotel tetap penduduk setempat. Pemilik lahan di situ. Ia orang Tionghoa. Sudah turun-temurun lahir di situ.

Kawi memang gabungan unik Islam, Tionghoa, dan Kejawen. Di depan hotel ini ada tempat semedi yang besar.

Suhu itu ternyata membawa rombongan. Termasuk orang dari Malaysia. Dari hotel kami pun menapaki jalan menanjak menuju gerbang Kawi.

Saya berhenti sebentar untuk bertanya soal padepokan tempat semedi itu.

Dari gerbang itu kami terus menanjak. Melewati toko-toko baru yang dibangun Yana. Lalu di kanan jalan terlihat Masjid Agung tadi. Di kiri jalan ada gedung hijau: tempat pergelaran wayang.

Anda mungkin lebih tahu mengapa Gunung Kawi lantas bertransformasi menjadi lambang tempat berdoa untuk menjadi kaya.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News