Hargai Demokrasi Ala Jogjakarta
Rabu, 08 Desember 2010 – 06:26 WIB

Hargai Demokrasi Ala Jogjakarta
Menjelang wafat, sang raja tidak meniru para pendahulunya dalam menentukan secara serta merta sosok putra mahkota yang nanti akan menggantikannya. Biasanya, proses penggantian dilakukan dengan meninggalkan Keris Jaka Piturun kepada salah satu keturunannya sebagai tanda ahli waris takhta. Hingga meninggal, tidak ada keturunaannya yang diberikan keris tersebut.
Karenanya, penobatan KGPH Herjuno Darpito, yang kemudian menjadi KGPH Mangkubumi, dan selanjutnya menjadi pimpinan Keraton Yogyakarta bergelar Sri Sultan HB X, merupakan hasil musyawarah internal para rayi dalem. Yang terdiri dari, adik-adik kandung, sedherek dalem (adik lain ibu), dan sentana dalem (paman, bibi, dan sepupu). Musyawarah para aristokrat itu menggantikan model penunjukan langsung. "Jadi tidak ada alasan, hargai demokrasi ala Jogjakarta, jangan dipaksakan yang lain," pungkas Joyokusumo. (dyn)
JAKARTA - Pihak keraton Jogjakarta meradang ketika seakan-akan ditempatkan di posisi pihak yang antidemokrasi, seiring keinginan pemerintah mengganti
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi
BERITA TERKAIT
- Sepanjang 2024, BPJS Kesehatan Catat Jumlah Peserta Aktif JKN & Penerimaan Iuran Melonjak
- Belum 100 Hari Dilantik, Pramono Rombak 59 Pejabat Eselon Termasuk Wali Kota
- Menteri Rini Mengenang Masa Kuliah, jadi CPNS 1990, Kisah Hidup Tidak Selalu Mulus
- YATBL Laporkan Muhammad Kadafi ke Bareskrim Polri
- Kementerian BUMN Tunjuk Rivan Purwantono Sebagai Direktur Utama Jasa Marga
- KUHAP Baru Diharapkan Tingkatkan Kepercayaan Publik pada Sistem Hukum