Menyoal Perpres Terkait Penanggulangan Terorisme

Hendardi: Ini Gambaran Nafsu TNI Merengkuh Kewenangan Baru

Hendardi: Ini Gambaran Nafsu TNI Merengkuh Kewenangan Baru
Ketua Setara Institute, Hendardi. FOTO: Dok. JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Ketua SETARA Institute, Hendardi merespons rencana Presiden Jokowi untuk menerbitkan Perpres (Peraturan Presiden) terkait dengan UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Penanggulangan Terorisme.

“Dari draf yang beredar, Rancangan Prespres yang disusun pemerintah justru keluar jalur dan melampaui substansi norma pada Pasal 43I tersebut. Apa yang disajikan dalam Rancangan Perpres tersebut merupakan gambaran nafsu TNI untuk merengkuh kewenangan baru yang melanggar Konstitusi,” kata Hendardi dalam keterangan persnya, Selasa (12/5/2020).

Hendardi menjelaskan konstitusi yang dilanggar yakni terkait Pasal 30 ayat (4) UUD Negara RI 1945), bahwa TNI adalah alat pertahanan yang melakukan operasi militer perang dan operasi militer selain perang yang hanya bisa dijalankan atas dasar kehendak politik negara (Pasal 7 ayat (2) dan (3) UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI.

“Artinya, pelibatan TNI dalam operasi militer selain perang harus berdasar pada Keputusan Presiden yang dikonsultasikan dengan DPR,” katanya.

Lebih lanjut, Hendardi menjelaskan Rancangan Peraturan Presiden (RPerpres) tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme, yang dikirim Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly ke DPR RI, pada 4 Mei 2020 untuk memperoleh persetujuan DPR, adalah mandat Pasal 43I ayat 1,2, dan 3, yang pada intinya menyebutkan bahwa Tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme merupakan bagian dari operasi militer selain perang, yang detailnya kemudian didelegasikan untuk diatur dalam Perpres.

Sebagai sebuah regulasi turunan dari Pasal 43I, maka penyusunan RPrespres tidak boleh melampaui ketentuan yang secara tegas diatur dalam Pasal 43I yang merupakan dasar hukum RPerpres tersebut.

Mengacu pada Pasal 43I, menurut Hendardi, maka yang seharusnya disusun oleh pemerintah dalam menerjemahkan mandat delegasi dari norma tersebut adalah menyusun kriteria dan skala ancaman.

Selain itu, jenis-jenis terorisme, teritori tindak pidana terorisme, prosedur-prosedur pelibatan. Termasuk mekanisme perbantuan terhadap Polri, dan akuntabilitas pelibatan TNI dalam penanganan aksi terorisme, karena tidak ada mekanisme tanggung gugat atas anggota TNI, ketika melakukan tindak yang melanggar hukum.

Penyusunan Rancangan Prespres tidak boleh melampaui ketentuan yang secara tegas diatur dalam Pasal 43I yang merupakan dasar hukum RPerpres tersebut.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News