Industri Shipyard di Batam Terpuruk, Ibarat Pepatah, Sudah Jatuh Tertimpa Tangga Pula

Industri Shipyard di Batam Terpuruk, Ibarat Pepatah, Sudah Jatuh Tertimpa Tangga Pula
Pekerja sedang menggesa pengerjaan kapal di Seilekop, Sagulung, Jumat (28/4). Industri galangan kapal di Batam sejak tahun lalu lesu menyusul perekonomian global yang lesu akibat anjloknya harga minyak dunia. F. Dalil Harahap/Batam Pos/jpg

"Baik tujuannya yakni supaya barang mendapat nilai tambah sehingga devisa negara lebih besar," imbuhnya.

Jika kebijakan UU Minerba diikuti dengan pembangunan smelter yang berfungsi untuk mengolah barang mentah menjadi barang jadi, maka kebijakan ini sangat menguntungkan.

Namun kenyataannya, pemerintah tak kunjung merealisasikan pembangunan smelter yang dulu rencananya akan dibangun di Bintan.

"UU ini jadi senjata makan tuan. Dampak UU Minerba terhadap kinerja ekspor bisa dilihat pada ekspor bijih, kerak dan abu logam yang mengalami penurunan sebesar 685,2 juta Dolar atau turun 70,13 berdasarkan data BPS," paparnya.

Hal ini tentu saja menurunkan permintaan kapal jenis tongkang dan tugboat pengangkut mineral mentah.

Kemudian shipyard di Batam juga dihadapkan pada pilihan terbatas dalam membuat kapal. Karena mereka hanya bergantung dari pesanan kapal.

Sebenarnya shipyard di Batam sudah bisa memproduksi berbagai jenis kapal seperti kapal kargo, tanker, SPB, kapal pandu, hopper, alumunium, roro, crane berge dan kapal canggih seperti landing craft tank, landing craft utility amphibious.

"Namun yang paling banyak diproduksi di Batam adalah kapal tongkang dan tugboat untuk mengangkut mineral batubara dan tangker pengangkut minyak," ujarnya.

Industri shipyard di Kota Batam, Kepulauan Riau, belum juga menunjukkan tanda-tanda perkembangan positif pascalebaran.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News