Industri Shipyard di Batam Terpuruk, Ibarat Pepatah, Sudah Jatuh Tertimpa Tangga Pula

"Baik tujuannya yakni supaya barang mendapat nilai tambah sehingga devisa negara lebih besar," imbuhnya.
Jika kebijakan UU Minerba diikuti dengan pembangunan smelter yang berfungsi untuk mengolah barang mentah menjadi barang jadi, maka kebijakan ini sangat menguntungkan.
Namun kenyataannya, pemerintah tak kunjung merealisasikan pembangunan smelter yang dulu rencananya akan dibangun di Bintan.
"UU ini jadi senjata makan tuan. Dampak UU Minerba terhadap kinerja ekspor bisa dilihat pada ekspor bijih, kerak dan abu logam yang mengalami penurunan sebesar 685,2 juta Dolar atau turun 70,13 berdasarkan data BPS," paparnya.
Hal ini tentu saja menurunkan permintaan kapal jenis tongkang dan tugboat pengangkut mineral mentah.
Kemudian shipyard di Batam juga dihadapkan pada pilihan terbatas dalam membuat kapal. Karena mereka hanya bergantung dari pesanan kapal.
Sebenarnya shipyard di Batam sudah bisa memproduksi berbagai jenis kapal seperti kapal kargo, tanker, SPB, kapal pandu, hopper, alumunium, roro, crane berge dan kapal canggih seperti landing craft tank, landing craft utility amphibious.
"Namun yang paling banyak diproduksi di Batam adalah kapal tongkang dan tugboat untuk mengangkut mineral batubara dan tangker pengangkut minyak," ujarnya.
Industri shipyard di Kota Batam, Kepulauan Riau, belum juga menunjukkan tanda-tanda perkembangan positif pascalebaran.
- Jadi Pelopor AI, BINUS University Dorong Ekosistem Kerja Kreatif Berbasis Teknologi
- Epson Mobile Projector Cart Raih Penghargaan Best of the Best di Red Dot Design Awards 2025
- PGE Raih Pendapatan USD 101,51 Juta di Kuartal I 2025, Dorong Ekosistem Energi Berkelanjutan
- PSN Rempang Eco City Tak Masuk Perpres yang Diteken Prabowo, Rieke: Batal!
- Smelter Merah Putih PT Ceria Mulai Produksi Ferronickel
- ABM Investama Tunjukkan Resiliensi-Komitmen ESG di Tengah Tantangan Industri 2024