Industri Shipyard di Batam Terpuruk, Ibarat Pepatah, Sudah Jatuh Tertimpa Tangga Pula

Industri Shipyard di Batam Terpuruk, Ibarat Pepatah, Sudah Jatuh Tertimpa Tangga Pula
Pekerja sedang menggesa pengerjaan kapal di Seilekop, Sagulung, Jumat (28/4). Industri galangan kapal di Batam sejak tahun lalu lesu menyusul perekonomian global yang lesu akibat anjloknya harga minyak dunia. F. Dalil Harahap/Batam Pos/jpg

Setelah harga minyak jatuh, maka isu berikutnya adalah turunnya permintaan batubara dunia.

"Turunnya industri di negara-negara pengonsumsi batu bara seperti China dan India serta adanya pembatasan bahan bakar fosil karena dituding sebabkan polusi di Amerika mengakibatkan turunnya pemesanan kapal," jelasnya.

Imbasnya lebih lanjut, pemesanan kapal pengangkut batubara seperti kapal jenis tongkang dan tugboat yang umumnya diproduksi di Batam mulai turun drastis.

"Ditambah lagi turunnya harga komoditas batubara yang tahun 2013 masih sekitar 100 dolar Amerika menjadi 41,36 dolar Amerika di tahun 2016 sangat berpengaruh," ungkapnya.

Selanjutnya ketika harga minyak dan batubara jatuh, pemerintah pusat malah mengeluarkan kebijakan kontroversial yakni larangan ekspor mineral logam mentah yang hadir dalam Undang-Undang Pertambangan, Mineral dan Batubara (UU Minerba) pada tahun 2014.

Dengan demikian setelah dua pintu macet, maka pemerintah pusat malah menutup pintu alternatif lainnya.

"UU tersebut melarang perusahaan tambang mengekspor barang mentah tanpa mengolahnya terlebih dahulu menjadi barang jadi atau setengah jadi di Indonesia," jelasnya.

Tujuan dari UU Minerba sebenarnya baik yakni melindungi sekaligus memperkuat industri dalam negeri. Tapi sayangnya kebijakan ini menjadi pisau bermata dua karena merugikan industri galangan kapal.

Industri shipyard di Kota Batam, Kepulauan Riau, belum juga menunjukkan tanda-tanda perkembangan positif pascalebaran.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News