Ingin Menang, Jangan Sembarangan Bikin Slogan

Ingin Menang, Jangan Sembarangan Bikin Slogan
Hingdranata Nikolay. Foto: Soetomo Samsu
"Ilmu ini sangat cocok bila dipelajari para politisi. Karena ilmu ini juga mempelajari pola linguistik," ujarnya. Menurutnya, kata "bodoh;, "sakit", dan "lapar", merupakan bagian linguistik yang sudah marasuk dalam publik Indonesia. Karenanya, gampang diingat dan cukup mengena.

Hing, alumni Universitas Kristen Indonesia (UKI) dan Universitas Atmajaya Jakarta ini, memberi contoh slogan capres 2009, yakni dengan membandingkan slogannya SBY dengan slogannya Jusuf Kalla. Slogan SBY "lanjutkan!". Sedang slogan JK saat itu, "lebih cepat lebih baik".

Menurut Hing, selain karena lebih simpel, slogan SBY juga cocok dengan "pola linguistik" masyarakat kebanyakan Indonesia, yang lebih suka kemapanan. "Rakyat Indonesia itu tipikalnya tak suka berspekulasi ke hal-hal baru, takut terjerumus pada ketidakpastian. Buktinya, Soekarno dan Soeharto bisa bertahan lama berkuasa," ujarnya.

Bagaimana dengan slogan JK? Menurut Hing, slogan politisi senior asal Makassar itu tidak sejalan dengan "alam pikir" rakyat Indonesia kebanyakan. Penduduk Jawa, sebagai mayoritas pemilik suara, tidak tersentuh dengan slogan JK itu.

HAMPIR semua calon kepala daerah mengusung slogan tertentu saat kampanye. Kalimat slogan sering kali menggunakan susunan kata yang kaku, normatif,

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News