Intelijen Jangan Menangkap

Intelijen Jangan Menangkap
Mahfudz Siddiq. Foto: Ricardo/JPNN

jpnn.com - MASIH belum pupus dalam ingatan publik kasus penghilangan paksa terhadap sejumlah aktivis, jelang berakhirnya rezim Orde Baru. Ketua Komisi I DPR RI, Mahfudz Siddiq menduga kasus penculikan itu melibatkan aktivitas intelijen yang sampai sekarang belum terungkap betul duduk persoalannya.

Pascaserangan bom di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis (14/1), muncul wacana revisi Undang-Undang (UU) Nomor 17 tahun 2011 tentang Intelijen Negara, dari Kepala BIN, Sutiyoso.

Bang Yos, panggilan akrabnya, ingin kewenangan BIN ditambah, agar bisa menahan dan menangkap orang terindikasi terlibat gerakan teroris. Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan juga mendorong revisi Undang-undang (UU) No 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Berikut kutipan wawancara JPNN.com Zulfasli dengan Ketua Komisi I DPR RI, Mahfudz Siddiq, sebagai respon terhadap wacana tersebut.

Sudah dengar adanya usulan UU Nomor 17 Tahun 2011 agar direvisi?

Usulan revisi undang-undang intelijen untuk menambah kewenangan intelijen melakukan penangkapan atau penahanan terhadap orang yang diduga terlibat dalam satu tindakan pidana terorisme dalam rangka penggalian informasi, saya pikir sebagai usulan boleh-boleh saja. Tetapi, kalau kita lihat UU Nomor 17 tahun 2011 tentang Intelijen, perdebatan mengenai kewenangan BIN untuk melakukan penangkapan dan penahanan itu dilakukan secara sangat mendalam dan DPR dulunya menghadirkan ahli dari banyak pihak untuk mendiskusikan mengenai hal itu dan pada akhirnya dalam penyusunannya disepakati bahwa dalam proses menggali informasi BIN memang tidak punya kewenangan melakukan penangkapan atau penahanan.

Penangkapan dan penahan itu, diberikan kewenangannya kepada lembaga penegak hukum dalam hal ini kepolisian, dan BIN bekerjasama dengan kepolisian dalam proses penggalian informasi terhadap orang yang diduga yang terlebih dahulu dilakukan penahanan sementara oleh kepolisian.

Tapi BIN merasa karena tak punya kewenangan menangkap lalu sulit dapat informasi?

Menurut saya persoalannya bukan di situ. Ada beberapa alasan. Pertama, UU intelijen ini adalah UU pertama di bidang intelijen yang produknya merupakan suatu evaluasi terhadap praktik intelijen pada masa-masa sebelumnya, dimana karena tidak ada aturan yang jelas, terjadi praktik-praktik penyalahgunaan kewenangan sehingga banyak pihak-pihak yang serta-merta ditahan atau ditangkap untuk kebutuhan penggalian informasi.

Inikan kemudian banyak mendapat reaksi dari para aktivis HAM, sehingga kemudian sebagai negara hukum, negara harus membedaan betul fungsi intelijen dengan fungsi penegakkan hukum. Intelijen difokuskan kepada fungsi pokoknya yaitu penyelidikan, pengamanan dan penggalangan. Aspek penegakkan hukum diberikan kewenangan untuk melakukan penahanan atau penangkapan itu kepada kepolisian sebagai salah satu lembaga penegakkan hukum. Hitorisnya seperti itu.

Untuk kini dan ke depannya?

Dalam konteks kekinian, ketika marak lagi aktivitas terorisme, pertanyaan yang harus didalami adalah, apakah kalau istilahnya pakai kecolongan, itu karena BIN perlu tambahan kewenangan atau masalahnya persoalan yang lain seperti belum adanya koordinasi yang efektif antara pihak penyelenggara intelijen dengan pihak penegakkan hukum?. Itu yang harus didudukan dulu. Ini kan seringkali menjadi analisis atau diskusi ketika kita mengkaji fungsi dari masing-masing lembaga.

Contohnya begini, terorisme kalau kita mau merujuk kepada UU yang kita miliki dan juga tersebar di beberapa UU, itu kan satu persoalan yang bisa ditangani oleh beberapa pemangku kepentingan. Ada Polri, BIN, dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) serta TNI dalam asas perbantuan.

Nah, yang sering dikritisi oleh sejumlah pihak adalah masih belum efektifnya koordinasi dan sinerji antarlembaga ini. Sehingga kemudian dampaknya adalah tidak efektifnya penanggulangan terorisme itu sendiri. Itu dulu yang harus dalami, dikaji betul, sehingga bangsa ini menemukan akar masalah kelemahan-kelemahan selama ini.

Kalau pada akhirnya terletak pada kewenangan yang kurang, tentu itu bisa dibicarakan dalam konteks usulan revisi. Tapi secara pribadi saya melihat bahwa secara kewenangan sudah cukup memadai, tinggal persoalannya tadi, bagaimana kewenangan itu dikoordinasikan, disinerjikan antara satu pemangku kepentingan dengan pemangku kepentingan yang lainnya.

BIN minta tambah kewenangan, agar efektif mencegah terorisme sedini mungkin?

Kalau alasannya menahan orang, kan ada kepolisian, apa susahnya? BIN di dalam proses penyelidikan juga ada kewenangan penyadapan. Ada indikasi seseorang atau sekelompok orang akan melakukan tindak pidana terorisme atau aktif dalam kegiatan organisasi yang cenderung melakukan terorisme, apa sulitnya kemudian BIN berkoordinasi dengan kepolisian sebagai badan negara penegak hukum yang memang bisa menjadikan informasi BIN sebagai bukti permulaan untuk menangkap sementara sesuai yang diatur oleh UU, lalu dalam proses penahanan itu BIN melakukan penggalian informasi lebih lanjut.

Itukan suatu perkara yang mudah karena kedua institusi ini berada dalam pemerintahan. Kecuali dua intitusi dalam pemerintahan tidak mau atau punya-kendala-kendala birokratif dalam melakukan koordinasi.

Bagaimana dengan praktik intelijen di negara-negara tentangga?

Membandingkan praktik intelijen di sejumlah negara memang berbeda-beda dan itu sesuai pula dengan rezim dan perspektif hukumnya. Tapi bangsa ini sudah sepakat memasuki era demokrasi maka hukum harus menjadi panglima. Hukum itu napasnya salah satu adalah penghormatan terhadap hak asasi manusia. Sehingga praktik-praktik yang terjadi di zaman Orde Baru, orang dengan mudah bisa ditangkap, diinterogasi sampai penghilangan paksa terhadap seseorang yang diduga melakukan aktivitas membahayakan dalam tafsir subjektif kekuasaan. Itu kan hal yang tidak ingin kita ulangi kembali di era demokrasi yang sekarang.

Tapi bukan berarti bangsa ini kemudian memberikan ruang toleransi terhadap setiap tindak pidana apalagi tindak pidana terorisme. Ini ruang-ruangnya sudah diatur. Kewenangan-kewenangannya sudah kita atur.

Kalau kebutuhannya untuk menahan, kewenangan itu bukan kepada pihak intelijen, tapi kepada kepolisian sebagai lembaga penegak hukum. Tinggal berkolaborasi, presidennya satu, kedua-duanya juga berkantor di Jakarta dan tidak ada kendala semestinya.

Apa potensi ancamannya kalau BIN diberi kewenangan menahan dan menangkap?

Kalau kini BIN punya kewenangan penangkapan atau penahan dalam rangka penggalian informasi, kan orang jadi bertanya, apakah memang tidak ada kerjasama antara BIN dengan pihak kepolisian? Menurut saya koordinasi yang perlu ditingkatkan.

Ada contoh ni, ketika BIN mengambil langkah inisiatif melakukan penggalangan sebagai salah satu fungsi intelijen terhadap kelompok Din Minimi di Aceh, sampai kemudian ada negosiasi sehingga mereka bisa turun gunung dan salah satu tuntutan yang diajukan adalah amnesti. Tapi akhirnya publik membaca bahwa ternyata belum ada kesepahaman, kesepakatan dan kesatuan sikap antara BIN dengan lembaga penegak hukum yang lain. Sehingga pertaruhannya adalah apakah amnesti akan diberikan atau tidak.

Inikan salah satu contoh kasus bahwa ada persoalan dalam koordinasi. Institusi terkait tidak dalam kondisi efektif koordinasinya. Ditarik dalam konteks penanggulangan terorisme, lalu secara buru-buru kemudian banyak pihak akan disibukan dengan ide revisi UU intelijen untuk menambah kewenangan penangkapan atau penahanan.

Kalau kendala psikoligis?

Rasanya memori bangsa ini belum pupus ya, bahwa di awal-awal era reformasi itu terjadi kasus penghilangan paksa terhadap sejumlah aktivis dalam konteks kegiatan politik. Penghilangan paksa tersebut oleh banyak pihak diduga melibatkan aktivitas intelijen yang sampai sekarang ini belum terungkap betul duduk persoalannya.

Itu terjadi ketika secara teoritik intelijen tidak diberi kewenangan penangkapan atau penahanan. Kira-kira bisa dibayangkan kalau intelijen diberi kewenangan melakukan penangkapan dan penahanan. Ini akan seperti apa?

Kenapa harus tegas betul memisahkan kewenangan BIN dengan Polri?

Ini menjadi penting, karena sifat operasi intelijen itu tertutup, berbeda dengan lembaga penegak hukum polisi. Polisi di dalam melakukan tugas dan fungsi penyelidikan dan penyidikan termasuk di situ melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang, itu harus dilakukan secara terbuka. Sehingga orang tahu, polisi menangkap si a, polisi menangkap si b dan itu diatur dalam UU. Semuanya terbuka dan akuntabilitasnya bisa diuji.

Tapi kalau BIN operasinya tertutup. Menahan orang tidak boleh ada yang tahu.Kalau ada yang ditahan dan siapa yang menahan, dimana dia ditahan, itu pun tidak jelas. Intelijen tidak mungkin mempublikasikan bahwa BIN menahan si a, si b dalam rangka menggali informasi.***


MASIH belum pupus dalam ingatan publik kasus penghilangan paksa terhadap sejumlah aktivis, jelang berakhirnya rezim Orde Baru. Ketua Komisi I DPR


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News