Jago Wayan
Oleh: Dahlan Iskan
.jpeg)
Si pengusaha lari. Ke Singapura. Rumah-rumah sudah setengah jadi. Tidak ada yang membeli. "Saya langsung bangkrut. Habis. Ludes," katanya.
Wayan tinggal punya rumah di Jonggol. Dekat Bogor. Ia meninggalkan Riau dengan tangan kosong. Ia merenungi nasibnya. "Ini salah saya sendiri," katanya. Ia tidak mau menyalahkan siapa pun. Tidak juga menyalahkan pengusaha yang lari tadi.
Di Jonggol ia berpikir: mau kerja apa. Dari kebun sawit di Riau ia belajar membuat pupuk. Ia mencoba membuat pupuk biologi. Ia coba di lahan mangkrak di Jonggol. Ia bertani di situ.
Dengan pupuk buatannya sendiri. Lahan itu sekaligus arena demo untuk pupuk buatannya. Ia jualan pupuk.
Mulailah Wayan dapat uang kembali. Lalu berpikir membuka lagi kebun sawit. Tidak di Riau. Sudah penuh. Lahan sudah mahal.
Ia melirik Pangkalan Bun di Kalteng. Ia berkebun sawit dengan mengandalkan pupuk buatannya sendiri. Ia tahu hitungan. Petani kecil itu tidak efisien: biaya beli pupuk bisa Rp 1.800/kg CPO. Perkebunan besar hanya perlu Rp 1.300/kg CPO. "Saya hanya Rp 950/kg CPO," katanya.
Di Pangkalan Bun, kini ia sudah punya 500 hektare sawit. Ia juga punya peternakan sapi. Seekor sapi, katanya, bisa menghasilkan pupuk 10 kali lipat dari berat badannya. Tiap tahun. Itu baru dari tahinya. Sebanyak itu pula dari air kencingnya.
Dari pupuk itu dua anaknya bisa kuliah sampai S2. Lalu si bungsu sekolah sampai Prancis. Wayan punya keinginan baru: membina 50 anak muda miskin untuk berkebun sawit.
Namanya: Wayan Supadno. Dia berhenti dari tentara. Pangkatnya mayor. Uangnya sudah banyak. Ia merasa tidak enak: jadi tentara merangkap jadi pengusaha sukses.
- Kolaborasi BULOG-Pupuk Indonesia Saat Panen Raya, Petani Langsung Beli Pupuk Sesuai HET
- Liburan Wu-Yi
- Sindikat Pemalsuan KTP Terungkap, Orang Dalam Disdukcapil Terlibat
- Barong Bola
- Bea Cukai Dorong Potensi UMKM di Banyuwangi & Belitung Tembus Ekspor Lewat Asistensi
- Ultimatum Menko Polkam: Jangan Sampai Karhutla Terjadi di Riau