Kakak Ibu

Oleh Dahlan Iskan

Kakak Ibu
Foto: disway.id

Apalagi ternyata Tu Yun ingat saya. Di saat tidak lagi ingat nama anak-anaknya.

"Adikku dewe," katanya. Dan katanya. Sambil terus mengusap wajah saya. Seperti saya ini masih bayi.

Saya pun mulai pancing ingatan Yu Tun. Dengan cerita-cerita lama. Yang saya tahu paling membanggakannya. Yakni saat Yu Tun masih di Magetan. Sebelum 'minggat' ke Samarinda.

Itu terjadi saat Yu Tun pertama kali diangkat sebagai guru agama. Punya gaji. Punya masa depan.

Yu Tun memang tamatan madrasah muallimat Pesantren Sabilil Muttaqin. Yang kemudian menjadi madrasah aliah. Tempat saya sekolah juga.

Waktu itu Yu Tun dibenum menjadi guru SD di sebuah desa di Kedungbanteng. Dekat Kedunggalar, pelosok Ngawi. Tidak jauh dari desa kelahiran bapak saya. Sebuah desa di lereng utara Gunung Lawu. Kering. Sulit air.

Cerita itu membuat Yu Tun seperti berusaha mengingat sebentar. Mungkin sudah 50 tahun tidak ada orang yang menyebut nama Kedungbanteng di telinganya.

Yu Tun lantas menganggukkan kepala. Tersenyum. Tanda ingatan lamanya kembali.

Di keluarga kami ada kepercayaan ini: kadang orang sulit meninggal karena masih ada ganjalan yang belum terurai.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News