Kakak Ibu

Oleh Dahlan Iskan

Kakak Ibu
Foto: disway.id

Lalu saya ceritakan bagaimana sulitnya air di sana. Bagaimana sulitnya mengajarkan ngaji di daerah yang waktu itu masih dibilang 'merah'.

Yu Tun mulai banyak tersenyum. Kadang senyumnya terlepas begitu saja. Saya ajak pula Yu Tun mengingat teman-teman remajanya.

Lalu --maafkan-- saya ingatkan dia bagaimana jatuh cintanya yang habis-habisan. Pada seorang pemuda yang amat ganteng. Gagah. Tinggi. Pintar.

Namun keluarga laki-laki itu tidak setuju. Alasannya: masih sepupu. Ia anak sulung kakak tertua ayah saya.

Kemudian Yu Tun pilih pergi jauh. Jauh sekali. Ke Samarinda. Yang hanya bisa ditempuh dengan naik kapal.

Kepergian Yu Tun ke Samarinda saat itu rasanya lebih jauh dari kepergian saya ke Virginia sekarang ini.

Kami memiliki sepupu lain yang sudah lebih dulu bekerja di Samarinda. Di PLTG Karangasam. Tahun 1962.

Juga satu paman yang menjadi guru. Di sekitar tahun itu. Yu Tun bergabung dengan mereka.

Di keluarga kami ada kepercayaan ini: kadang orang sulit meninggal karena masih ada ganjalan yang belum terurai.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News