Kapitalisme Sepak Bola

Oleh Dhimam Abror Djuraid

Kapitalisme Sepak Bola
Seorang warga memegang kaus bergambarkan striker Argentina Lionel Messi dan frase yang berarti "Apa yang kau lihat, bodoh?" di suatu toko di Buenos Aires, Argentina. (12/12/2022) Foto: AFP/LUIS ROBAYO

Messi juga sudah merasakan seluruh trofi bergengsi di level klub, seperti La Liga, Liga Champions, hingga Piala Dunia Antarklub. Hanya Piala Dunia yang membedakan Messi dari Pele dan Maradona.

Persaingan Messi vs Ronaldo praktis sudah berakhir setelah Portugal disisihkan secara dramatis oleh Maroko. Ronaldo meninggalkan lapangan dengan berurai airmata.

Ronaldo redup di Qatar. Ia menjadi penghuni bangku cadangan dua kali dalam turnamen. Ia hanya mampu mencetak satu gold an sudah tidak menjadi pilihan utama oleh pelatih Ferandano Santos.

Fernando Santos dipecat dari kursi pelatih. Ronaldo membiarkan pelatih yang membawa Portugal menjuarai Piala Eropa 2016 itu berlalu.

Tidak ada ucapan terima kasih dari Ronaldo untuk Santos. Bahkan, Ronaldo disebut sebagai penghasut yang menyebabkan Santos didepak.

Era Ronaldo sudah berakhir, meskipun ia tidak akan menyerah. Ia masih ingin membawa Portugal berlaga di Piala Eropa 2024 ketika usianya sudah 39 tahun. Entah, apa yang bisa disumbangkannya dalam usia itu.

Piala Dunia Qatar kali ini menjadi panggung besar bagi Messi. Ia membawa mukjizat bagi Argentina.

Final kali ini akan menjadi ‘moment of truth’ bagi Messi. Ia diperbandingkan dengan Pele, legenda Brasil.

Banyak kejanggalan yang menguntungkan Argentina. Messi menjadi kandidat top scorer dengan lima gol, empat di antaranya melalui penalti.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News