Kartel Minyak Goreng

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Kartel Minyak Goreng
Pedagang mengisi minyak goreng ke dalam plastik eceran. Pemerintah mengancam penjual dan pengecer yang menjual minyak goreng di atas harga Rp 14 ribu per liter dengan sanksi pencabutan izin usaha. Foto: Ricardo

Para pengusaha raksasa batu bara itu lebih suka menjual produknya ke luar negeri karena lebih menguntungkan. Mereka punya kewajiban untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri sesuai dengan aturan domestic market obligation (DMO). Namun, dalam praktiknya aturan itu tidak berjalan.

Sama dengan sawit, pengusaha batu bara itu dapat tanah pinjaman gratis dari rakyat melalui negara dengan mekanisme hak guna usaha. Seharusnya rakyat dapat prioritas untuk menikmati layanan listrik yang lancar.

Seharusnya rakyat dapat prioritas untuk menikmati minyak goreng dengan harga murah dan kualitas tinggi.

Dalam urusan batu bara, rakyat tidak usah bermimpi mendapat layanan listrik gratis. Mendapat layanan listrik yang murah dan lancar saja sudah menjadi satu kemewahan.

Industri batu bara juga melahirkan orang-orang crazy super-rich kelas sultan papan atas. Mereka adalah para pengusaha yang mempunyai koneksi dengan kekuasan, dan kemudian mendapatkan konsesi berapa pun yang mereka inginkan.

Para pengusaha itu kemudian melakukan kolusi dengan pejabat-pejabat tinggi yang melahirkan oligopoli yang menguasai industri.

Batu bara melahirkan kartel, sekumpulan pengusaha yang sangat kuat yang bisa memengaruhi kebijakan negara dan mengatur pasar. Industri kelapa sawit juga sama saja, melahirkan pengusaha-pengusaha kuat yang membentuk kartel yang bisa mengatur pasar dan harga.

Pemerintah bisa berdalih bahwa kartel-kartel itu tidak ada. Namun, fakta bahwa pemerintah tidak bisa mengendalikan harga adalah bukti bahwa kartel itu ada.

Negara yang menjadi penghasil kelapa sawit terbesar di dunia, malah mengalami kelangkaan minyak goreng.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News