Karya Tulus, Kisah Ledhek Bertemu Mantan Kekasih semasa SMA

Karya Tulus, Kisah Ledhek Bertemu Mantan Kekasih semasa SMA
Tulus Setiyadi menunjukkan beberapa buku sastra berbahasa Jawa karangannya. Foto: Agus Dwi Prasetyo/Jawa Pos

Mayoritas novel yang ditulis Tulus menceritakan kisah cinta dan budaya masyarakat Jawa. Dengan latar belakang atau setting peristiwa di pedesaan yang memang banyak dijumpai di wilayah Karesidenan Madiun. Di samping Ledhek saka Ereng-erenge Gunung Wilis, ada novel-novel lain yang juga bercerita tentang petualangan cinta. Salah satunya Sindhen Padmi.

”Sehari sekitar enam sampai tujuh kali membuka komputer. Saya mengalir saja. Karena saya bukan mencari daftar pustaka,” ungkap pria bujang 45 tahun tersebut. Selain menulis, Tulus sibuk menggarap sawah di dekat rumahnya.

Dua profesi yang sangat kontras itu dia jalani bersamaan. ”Kalau musim panen (padi), waktu untuk menulis sedikit berkurang,” ujarnya.

Sebagai seorang petani, kelihaian Tulus mengolah kata berbahasa Jawa menjadi sebuah novel diapresiasi sejumlah pihak. Bahkan, selama setahun terakhir, beberapa penggemar sastra Jawa dan mahasiswa program studi ilmu sastra Jawa dari sejumlah universitas datang ke rumahnya untuk sekadar menimba atau bertukar pengetahuan. ”Ada yang menjadikan novel saya sebagai bahan tesis untuk pascasarjana juga,” ucapnya.

Secara akademis, perbedaan penulisan dan penyebutan kosakata dalam bahasa Jawa memang masih kerap ditemui. Hal itulah yang sering menjadi perdebatan di kalangan akademisi. Contohnya, kata kejadian dalam bahasa Jawa sering ditulis dalam dua versi, yakni kedadeyan dan kedadean (tanpa huruf y). ”Di Surabaya (Balai Bahasa Jawa Timur) pakai y, tapi (Balai Bahasa) Jawa Tengah tanpa y,” bebernya.

Faktor akademis itu yang membuat Tulus kesulitan untuk mencari editor bahasa Jawa. Akhirnya dia sendiri yang mengedit setiap kata yang dia tulis. Berbekal kamus bahasa Jawa dan selalu berkonsultasi dengan Balai Bahasa Jawa Timur dan Jawa Tengah.

”Memang ada pertentangan dalam menulis bahasa Jawa, tapi nggak masalah, yang penting sing moco (yang membaca, Red) ngerti,” tuturnya.

Persoalan lain adalah minimnya modal untuk biaya menerbitkan buku. Ya, penghasilan seorang petani cenderung pas-pasan untuk sekadar membiayai ongkos pencetakan buku di penerbitan indie. Tak pelak, dengan kondisi terbatas seperti itu, Tulus hanya mampu mencetak buku paling banter seratus eksemplar setiap kali cetak. ”Balik modal saja sudah bagus,” kata alumnus Universitas Widya Mataram Jogjakarta tersebut.

Salah satu Novel karya Tulus Setiyadi, cerita tentang sosok ledhek Lastri bertemu dengan mantan kekasihnya semasa SMA dulu.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News