Kasus Cetak Sawah Mengarah ke Perkara Perdata

Saksi dari Jaksa Tak Berkaitan dengan Terdakwa

Kasus Cetak Sawah Mengarah ke Perkara Perdata
Sawah. Foto: JPG

Kasus cetak sawah yang kini sedang diperkarakan sebenarnya sebuah program mulia. Program itu digagas di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Pada 2011, SBY mengeluarkan Inpres Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pengamanan Produksi Beras Nasional Dalam Menghadapi Iklim Ekstrim. Saat itu memang terjadi perubahan iklim yang luar biasa akibat pengaruh topan El Nino dan La Nina.

Selanjutnya, presiden menugaskan Kementerian BUMN untuk melaksanakan isi Inpres tersebut. Menteri BUMN saat itu, Mustafa Abubakar menindaklanjuti instruksi presiden dengan membuat surat keputusan (SK) tentang Gerakan Peningkatan Produksi Pangan Berbasis Korporasi (GP3K).

Dahlan Iskan yang kemudian menggantikan Mustafa Abubakar melanjutkan program tersebut. Program GP3K salah satunya dijabarkan lewat pencetakan sawah baru. Sang Hyang Sri kemudian ditunjuk untuk melaksanakan program cetak sawah baru.

Cetak sawah baru sebenarnya jawaban atas berkurangnya jumlah area persawahan di Indonesia, yang tiap tahun terdesak oleh perumahan dan industri. Program cetak sawah baru ini diharapkan juga bisa menjadi pembelajaran bersama, baik bagi petani lokal maupun BUMN.

Sedangkan Upik dalam eksepsinya menganggap perkara ini sebenarnya lebih ke arah keperdataan. Yakni terkait adanya perbedaan nilai pembayaran dengan volume pengerjaan. Sedangkan yang dilakukan Upik Rosalina sebenarnya sebatas membayar tagihan pengerjaan yang sudah diverifikasi oleh pihak-pihak yang bertanggungjawab sebagai pengawas.(jon/atm)


Persidangan perkara korupsi cetak sawah yang menyeret mantan Dirut PT Sang Hyang Seri (SHS) Upik Rosalina makin membuka fakta bahwa kasus itu lebih ke perdata.


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News