Kebijakan Pusat yang Tak Pernah Mendengar Suara Daerah

Satu Dekade Otonomi Daerah, Hubungan Pusat-Daerah yang Belum Seiring

Kebijakan Pusat yang Tak Pernah Mendengar Suara Daerah
Kebijakan Pusat yang Tak Pernah Mendengar Suara Daerah
OTONOMI daerah sudah berjalan sepuluh tahun. Namun, hubungan pusat dengan daerah masih tak seiring. Studi The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP) menemukan sejumlah hambatan. Kebijakan seperti apa yang dinilai bisa menghalangi kemajuan daerah? Berikut pemaparan WAWAN SOBARI, peneliti JPIP.

Salah satu masalah yang mencolok adalah keterbatasan anggaran daerah. Munculnya temuan itu cukup ironis di tengah semakin besarnya dana transfer pemerintah (pusat) ke daerah. Dalam RAPBN 2012, dana transfer tersebut dipatok Rp 464,4 triliun atau naik 8,88 persen daripada 2011 yang mencapai Rp 412,51 triliun. Sementara itu, jika dibanding dana transfer 2006, angka pada 2012 sudah naik lebih dari dua kali lipat.

JPIP mewawancarai 20 kepala daerah, 6 wakil kepala daerah, 9 sekretaris daerah, dan 2 kepala bappeda untuk mengungkap hambatan otonomi daerah sejak digulirkan pada 2001. Studi menemukan, problem keterbatasan anggaran muncul karena daerah memiliki keterbatasan dalam menggali pendapatan asli daerah (PAD). Daerah tidak bisa seenaknya menggali PAD karena terkena rambu-rambu UU (pajak dan retribusi daerah). Contohnya adalah beratnya sumbangan PAD. Pada 2010, kontribusi PAD terhadap APBD kabupaten dan kota di Jawa Timur (minus Surabaya) hanya mencapai rata-rata 8,76 persen.

Problem anggaran lainnya menyangkut sistem pembiayaan dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK) yang menimbulkan ketergantungan pada pemerintah. Belum lagi terjadinya disparitas alokasi DAU antarkabupaten dan kota.

OTONOMI daerah sudah berjalan sepuluh tahun. Namun, hubungan pusat dengan daerah masih tak seiring. Studi The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP)

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News