Kejayaan Apel Malang Sudah Menjadi Cerita Masa Lalu

Kejayaan Apel Malang Sudah Menjadi Cerita Masa Lalu
Apel Malang. Foto: Rubianto/Radar Malang/JPNN.com

Menurunnya jumlah tanaman apel itu dampak dari penggunaan pupuk kimia dan pestisida yang berlebihan pada puluhan tahun lalu.

Dampaknya, tanahnya saat ini keras dan rusak. Dulu, petani hanya menggenjot produktivitas dengan menggunakan pestisida, tapi tidak memikirkan risiko kesuburan tanah.

Tingkat keasaman (pH)) juga rendah: Kisaran 4–5. Padahal, idealnya pH 5–6. ”Jadi, tanahnya terlalu asam. Ini yang tidak diperhatikan petani,” sebut Yayat.

Kendala petani apel lain adalah hama dan penyakit. Sebenarnya ada hewan organisme alami yang bisa melawan hama dan penyakit. Namanya hewan kepik. Namun, karena petani terlalu banyak memakai pestisida, kepiknya ikut mati.

Peneliti Madya Balitjestro Ir Suhariyono MBA menambahkan, yang merusak apel di Batu juga kutu sisik. Hama ini bisa dibilang sangat bandel dan susah diatasi.

Keluarnya saat menjelang matahari terbit dan bentuknya yang mempunyai sisik atau cangkang sehingga tidak akan mati jika disemprot pestisida biasa.

”Jadi, sebelum matahari terbit itu mereka keluar, lalu menempel di batang dan mencengkeram ke pohon,” kata pria berusia 61 tahun ini.

Saat sudah mencengkeram, tubuh kutu sisik di luar yang seperti cangkang inilah yang tidak akan tertembus pestisida.

Julukan Malang sebagai Kota Apel mulai redup. Kini para petani apel mulai beralih menanam pohon jeruk, dipicup perubahan cuaca dan gempuran apel impor.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News