Kementan Dorong Pengembangan Manggis untuk Konservasi dan Mengurangi Emisi Karbon

Kementan Dorong Pengembangan Manggis untuk Konservasi dan Mengurangi Emisi Karbon
Direktur Buah dan Florikultura Kementerian Pertanian (Kementan) Liferdi Lukman. Foto: Kementan

jpnn.com, BOGOR - Buah manggis atau si Ratu Buah Tropis banyak dijumpai di kawasan hutan atau perkebunan. Di habitat alaminya, pohon manggis banyak ditemukan tumbuh bersanding dengan pohon durian yang dijuluki Raja Buah Tropis. Manggis terkenal bercita rasa eksotik dan memiliki kandungan zat antioksidan tertinggi di antara buah tropis lainnya. Itulah kenapa manggis banyak diminati konsumen, baik pasar domestik maupun ekspor. Tak banyak yang tahu, selain bernilai ekonomi dan bergizi tinggi, ternyata manggis juga turut berperan dalam perbaikan kualitas lingkungan. Lho kok bisa?

Direktur Buah dan Florikultura Kementerian Pertanian (Kementan) Liferdi Lukman menyebut, pengembangan manggis memberi manfaat ganda, selain manfaat ekonomi langsung juga berpotensi mengurangi emisi karbon.

"Tanaman manggis adalah salah satu anugerah yang diberikan Tuhan untuk daerah tropis seperti Indonesia. Selain buahnya bernilai komersil tinggi, manggis juga baik untuk konservasi. Tanaman pelindung kota, memperbaiki kualitas lingkungan karena sifatnya yang every green, akarnya kokoh serta batangnya kuat dan elestis. Sangat potensial untuk mendukung upaya pengurangan emisi karbon," ujar Liferdi di sela-sela kunjungan kerja ke kebun manggis PT ALC AGRO Desa Kopo Kecamatan Cisarua, Bogor.

Liferdi menjelaskan adanya Protokol Kyoto 1997 yang mengatur tentang perdagangan karbon. Dalam konteks negara, siapa pun yang melakukan upaya pengurangan emisi misalnya CO2 maka berhak mendapatkan kompensasi. Dengan asumsi 1 ton karbon mendapatkan kompensasi senilai US$ 71. "Sesuai data BPS tahun 2018, kita punya 2,1 juta batang pohon manggis yang sudah menghasilkan atau identik dengan pohon manggis yang sudah berumur tua. Nah, kalau dalam setiap 1 pohon manggis diasumsikan menyimpan 10 kg karbon saja, maka sejatinya sudah berkontribusi mengurangi emisi sebanyak 21.000 ton CO2. Kalau dikalkulasi ekonomi atau diperdagangkan di pasar karbon bisa senilai kurang lebih US$1,49 juta," papar Liferdi.

Dalam konteks jasa, lanjut Liferdi, lingkungan tanaman manggis yang telah menghasilkan buah, mampu memberikan manfaat ekonomi lingkungan kepada masyarakat sebesar US$1,49 juta atau Rp 20,8 miliar. "Nilai tersebut baru dari aspek pengurangan emisi, belum nilai ekonomi langsung dari hasil buah dan bagian tanaman manggis lainnya. Terlebih lagi kalau dihitung jasa lingkungannya terhadap pengendalian banjir, erosi dan konservasi air tanah. Luar biasa besar manfaatnya," terang Liferdi yang juga dikenal sebagai pakar manggis tersebut.

Menurut Liferdi, saat ini Ditjen Hortikultura terus menggodog dan menyempurnakan _Grand Design_ pengembangan Hortikultura 2020-2024, yang mensinergikan berbagai aspek terkait dari hulu hingga hilir. Khusus manggis, pihaknya mendorong pengembangan kawasan manggis yang berorientasi pasar modern dan ekspor namun tetap berwawasan lingkungan.

"Tanaman manggis dikenal sebagai tanaman yang berumur panjang bahkan bisa mencapai ratusan tahun. Tidak serta merta misalnya ditanam sekarang lalu bisa dipetik buahnya 2-3 tahun lagi. Untuk belajar berbuah saja paling tidak butuh 8 tahun. Jadi perlu manajemen pengelolaan kebun dan visi jangka panjang yang kuat terkait kelestarian lingkungan," katanya.

Dirinya menjelaskan, selama fase pertumbuhan awal, tanaman manggis butuh tanaman peneduh terutama pada periode kritis 0 - 3 tahun sejak tanam. Dalam periode tersebut bisa saja dimanfaatkan untuk menanam tanaman sela seperti albasia, pisang atau pepaya agar dalam jangka menengah petani bisa mendapatkan penghasilan lain.

Pengembangan manggis memberi manfaat ganda, selain manfaat ekonomi langsung juga berpotensi mengurangi emisi karbon.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News