Kepruk Kendil

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Kepruk Kendil
Dhimam Abror Djuraid. Foto: Ricardo/JPNN.com

Ironisnya, di tangan kita ada pentungan sebesar lengan yang bebas kita gunakan untuk apa saja. Kita boleh mengayunkan ke mana saja. Kadang memukul tembok, kadang memukul pagar, kadang menghajar kaki orang lewat.

Itulah pentungan kebebasan yang sekarang kita banggakan. Kita punya kebebasan. Sekali merdeka, tetap merdeka. Itu semboyan saat revolusi. Sekarang semboyan berubah, ‘’Sekali merdeka, merdeka sekali’’, tidak ada batas kemerdekaan dan kebebasan.

Akan tetapi bangsa ini masih seperti anak kecil yang matanya tertutup kain. Masa kemerdekaan yang baru 77 tahun sangatlah muda dibanding bangsa-bangsa lain. 

Amerika sudah merdeka hampir 250 tahun, tetapi sekarang pun masih limbung karena berbagai polarisasi politik internal.

Ibarat manusia, bangsa Indonesia masih kanak-kanak. Kebebasan yang ada di tangan anak kecil bisa sangat berbahaya. Bisa melukai dan menghancurkan apa saja yang ada di dekatnya.

Kebebasan yang dimiliki bangsa ini bisa produktif kalau dikelola dengan benar. Akan tetapi, bisa sangat destruktif kalau berada di tangan yang salah.

Kita menjadi gamang terhadap identitas kita sendiri. Bangsa ini cenderung makin tipis toleransinya dalam berbagai hal. Yang mayoritas merasa curiga karena masa lalunya yang kelabu dan teraniaya.

Di zaman Orde Baru, sistem politik represif menjadikan kelompok Islam yang mayoritas menjadi sasaran kecurigaan. Karena itu kemudian kelompok ini dimarjinalisasi supaya tidak bisa menjadi besar dan kuat.

Bangsa ini, persis seperti gambaran anak kecil yang sedang bermain kepruk kendil. Mata tertutup tak bisa melihat arah. Kita sering tersesat jauh dari sasaran.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News