Ketika Kegagalan Bertopeng Kejujuran

Ketika Kegagalan Bertopeng Kejujuran
Ketika Kegagalan Bertopeng Kejujuran
Profesor Usman mengaku tak sependapat dengan kriteria kelulusan yang hanya ditentukan melalui UN. Menurutnya, kelulusan siswa sebaiknya ditentukan di kelas. "Karena yang mengetahui baik buruknya, cerdas dan tidaknya siswa adalah guru yang mengajarnya. Jadi, mestinya pemerintah pusat menyerahkan kelulusan siswa diserahkan kepada guru dengan penyelesaian ujian akhir sekolah di daerah masing-masing," ujarnya. "Tidak usah ada UN, yang ada hanya satu kali ujian yakni ujian masuk ke perguruan tinggi," Usman menambahkan.

:POLLING Pendidikan sebagai sebuah proses memang perlu mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Namun, perubahan demi perubahan yang tidak dirancang dengan landasan pedalogi, paradigma kebijakan pendidikan maupun yuridis yang sesuai dengan tujuan yang disepakati oleh bangsa melalui Undang-Undang Dasar 45, pada akhirnya hanya akan menjadikan guru dan murid menjadi obyek kelinci percobaan semata.

Dalam konteks kontroversi UN jelas, bagaimana pemerintah memposisikan murid yang tidak lulus UN sebagai korban. Sebab, bukan saja secara pedalogis UN dapat menghambat proses berfikir kreatif anak dan menghilangkan hak anak untuk memperoleh peniliaan secara holistik tetapi juga secara yuridis bertentangan dengan UU nomer 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (sisdiknas).

Diyakini, gagasan UN mencuat dari endapan keprihatinan atas kondisi bangsa dan korelasinya dengan pendidikan kita yang buruk. Namun, mengutip perkataan salah seorang pakar pendidikan, Winarno Surakhman, “ Ketika pendidikan nasional yang falsafahnya memanusiakan, membudayakan dan meng-Indonesiakan anak bangsa malah menghasilkan sebaliknya, di situ terjadi kriminalisasi pendidikan “.

UJIAN Nasional yang dari awal sudah kontroversial, kini menjadi lebih Kontroversial lagi. Tingkat kelulusan siswa yang menurun hingga 35 persen,

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News