Khusnul Bomiyah

Oleh: Dahlan Iskan

Khusnul Bomiyah
Dahlan Iskan (Disway). Foto: Ricardo/JPNN.com

Malam itu di rumahnyi kedatangan tamu. Suami istri. Teman baik. Mereka asal Banyuwangi. Ketika sesama suami ngobrol, Khusnul mengajak istri tamu untuk membeli nasi. Tidak jauh. Jalan kaki saja.

Mereka menyusuri gang menuju jalan raya. Jaraknya hanya sekitar 300 meter.

Di muara gang itu, biasanya ada penjual nasi Jinggo. Di kaki lima. Di pinggir jalan raya. Di depan kafe ternama.

Jinggo itu dijaja di atas keranjang yang ditaruh di boncengan kereta angin. Itulah nasi bungkus khas Bali yang terkenal.

Jalan raya itu ramai sekali. Dua cafe di dekat Jinggo sudah mulai penuh pengunjung. Sudah pukul 21.00 lebih. Banyak pengunjung bule di situ. Jalan raya macet. Lalu-lintas tertahan oleh sebuah mobil yang berhenti di tengah jalan, persis di depan penjual Jinggo.

Khusnul pun mendekat ke sepeda nasi Jinggo. Dia memesan enam bungkus. "Tunggu sebentar ya, saya mau bantu dorong mobil mogok itu dulu," ujar penjual nasi.

Khusnul melihat beberapa orang juga menuju mobil mogok itu. Mereka akan mendorongnya rame-rame. Tetapi Khusnul melihat sopir mobil itu baru saja turun. Lalu bergegas naik di boncengan sebuah sepeda motor. Kabur.

Saat mereka mulai mendorong mobil itulah, mobil meledak. Dahsyat. Khusnul terpental jatuh. Terkapar. Penuh luka dan darah. Wajahnyi menghitam. Pun tubuhnyi. Seperti terbakar. Bisa dibayangkan bagaimana nasib mereka yang mendorong mobil.

Nasib buruknya setelah bom Bali membuat Khusnul Chotimah ingin bertemu Mukhlas dan Amrozi –dua tokoh utama di balik bom Bali.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News