Kisah Dokter Penghobi Prangko dan Label Cerutu

Simpan Sebagian Koleksi Langka di Bank

Kisah Dokter Penghobi Prangko dan Label Cerutu
WARISAN: Dokter Ignatius Darmawan Budianto SpKJ menunjukkan koleksinya. Foto: Galih Cokro/Jawa Pos

Darmawan mengaku bukan penggemar cerutu. Dia memang pernah menjadi perokok semasa kuliah. Tapi, cerutu bukan favoritnya. Buat dia, mengisap cerutu terlalu berat untuk pernapasan. Kendati demikian, dia tetap meneruskan hobi orang tuanya. Sepeninggal ayahnya, ’’tugas” berburu label cerutu diambil alih Darmawan.

Kini, di kediamannya, kawasan Klampis, Surabaya, Darmawan memiliki lima buku penuh dengan label cerutu. ’’Di masing-masing halaman kurang lebih ada 20 label. Kalau dihitung-hitung, ada dua ribuan label yang dikoleksi. Belum yang nyelip-nyelip di rumah, lupa menaruh,” ujarnya.

Sejumlah koleksi label cerutu yang dimiliki Darmawan diperoleh dari pemberian teman-teman mendiang ayahnya. Mereka rata-rata tahu selama hidupnya, ayah Darmawan adalah kolektor label cerutu. Koleksi lain didapat Darmawan saat pergi ke luar negeri untuk urusan pekerjaan.

Cerutu memang tidak begitu digemari di Indonesia. Harganya yang dikenal lebih mahal daripada rokok membuatnya kurang familier di kalangan perokok. Tidak heran, kini Darmawan sulit mendapatkan label cerutu merek baru di dalam negeri.

Beda halnya dengan para perokok di mancanegara, seperti Eropa, yang masih banyak mengisap cerutu. Karena itu, ketika ada agenda ke luar negeri, Darmawan selalu berburu koleksi. ”Kadang begitu ketemu orang yang merokok pakai cerutu, saya langsung minta labelnya untuk dikoleksi, dijadikan satu dengan yang lain,” tutur lelaki kelahiran Malang, 5 Mei 1944, tersebut.

Pada Agustus nanti, Darmawan berencana melawat ke Belanda. Dia sudah mengagendakan untuk menambah koleksinya ketika ada di Negeri Kincir Angin itu.

Benda koleksi Darmawan bukan cuma label cerutu. Sejak sekolah menengah pertama, Darmawan juga senang berkorespondensi. Sahabat pena pertamanya berasal dari Belgia. Dia dan sahabat pena sering bertukar kisah, foto, termasuk prangko. Hobi berkorespondensi itulah yang mengantarnya menjadi seorang filatelis alias pengoleksi prangko.

Bagi laki-laki yang pernah menjadi ketua komite etik di sejumlah rumah sakit itu, berkirim ucapan lewat surat terasa lebih personal ketimbang berkomunikasi dengan media lain. Apalagi, prangko juga membawa kenangan masa silam. Ketika seseorang berada di tempat yang jauh, meski tidak sering bertatap muka, dia bisa menjadi sahabat pena. ”Dari prangko, saya belajar banyak hal, mulai sejarah, budaya, hingga seni yang tercetak di dalamnya,” katanya.

Setiap orang harus punya hobi sebagai titik break agar tidak jenuh dalam menjalani profesi. Setidaknya, itu diyakini dr Ignatius Darmawan Budianto

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News