Kisah Penjual Kursi Bambu Paling Sepuh di Ternate: Kalau Sampai Sudah Allahu Akbar...

Langkah Kakinya Mulai Terseok-seok

Kisah Penjual Kursi Bambu Paling Sepuh di Ternate: Kalau Sampai Sudah Allahu Akbar...
Penjual kursi bantu di Kota Ternate, Mahmud Jiko. FOTO: Malut Post/JPNN.com

Tiga kelurahan terakhir yang disebut Mahmud terletak di Kecamatan Pulau Ternate. Jaraknya mencapai puluhan kilometer. Jika ada yang sudah memesan rosban terlebih dahulu, ia harus menambah pikulannya menjadi dua buah. Jika rosban yang dibawa tak laku, ia terpaksa membawa pulang kembali ke rumahnya. Bagian paling melelahkan tentu saja adalah mendaki jalan ke Marikurubu.

”Hosa (terengah-engah, red), tapi ya mau bagaimana lagi? Tidak bisa naik ojek, karena kalau belum laku berarti belum punya uang,” ujar kakek dari 11 cucu ini.

Satu buah rosban dipatok seharga Rp 400 ribu. Namun sering pula rosban tersebut ditawar hingga Rp 300 ribu. Butuh waktu berhari-hari bagi Mahmud untuk bisa menjual satu buah rosban. Terkadang, ada warga yang memberinya uang alakadarnya lantaran kasihan melihat kakek tua itu.

”Kalau ada yang kasih uang, bisa untuk naik ojek pulang. Biasanya dikasih Rp 20 ribu,” kata suami dari almarhumah Ramisa Wahab itu.

Mahmud sendiri memiliki kebun pala yang tak terlalu luas. Tanaman tahunan itu dulunya bisa sedikit membantu ekonomi keluarganya. Namun setelah terkena abu vulkanik letusan Gamalama 2011 lalu, semua tanaman pala milik Mahmud mati. Ia tak bisa mengganti dengan tanaman yang baru lantaran tak memiliki biaya.

”Jadi sekarang hanya rosban ini satu-satunya yang saya harapkan,” tuturnya sendu.

Anak-anak Mahmud bukannya tak pernah menyuruh sang ayah berhenti berkeliling untuk jualan. Namun Mahmud tetap bersikeras memikuli rosban-rosban itu. Meskipun rasa lelah kerap menghampiri, ia tak pernah bertekat untuk berhenti menjual rosban.

Rupanya, pria yang hanya sekolah hingga bangku kelas 1 SD ini tak ingin menggantungkan diri pada anak-anaknya. Ia juga ingin membantu anak-anaknya menyekolahkan cucu-cucunya.

Di usia 85 tahun, Mahmud Jiko masih belum bisa hidup santai dan menikmati hari-hari tuanya. Tak ingin bergantung pada orang lain, ia rela berkeliling

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News