Klitih, Sejarah Premanisme di Yogyakarta & Petrus

Oleh Dhimam Abror Djuraid

Klitih, Sejarah Premanisme di Yogyakarta & Petrus
Papan penunjuk arah Jalan Malioboro dan Jalan Pasar Kembang di Yogyakarta. Foto: dokumentasi JPNN.com

jpnn.com - Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memiliki sejarah panjang tentang tradisi premanisme. Mungkin di Indonesia tidak banyak daerah yang punya khazanah bahasa preman seperti di Yogya.

Pada 1970-an, premanisme jalanan dan premanisme terorganisasi marak di Yogyakarta. Bersamaan dengan itu marak juga pemakaian bahasa preman di lingkungan penjahat jalanan.

Awalnya bahasa preman itu menjadi bahasa esoteris yang hanya dipahami dan digunakan di lingkungan preman saja. Namun, lambat laun bahasa preman itu berkembang luas dan menjadi bahasa gaul di lingkungan anak-anak muda.

Ketika itu bahasa preman Yogya begitu luas dipakai anak-anak muda sampai menjadi salah satu identitas budaya pinggiran. Seseorang yang bisa berbicara dengan bahasa preman dianggap bagian dari peer group dan mendapat perlakuan istimewa, misalnya ketika membeli sesuatu di pasar seperti Shoping Center.

Bahasa preman atau sering juga disebut bahasa gali, muncul dari kreativitas Yogya yang sangat khas. Bahasa itu merupakan hasil adopsi dari huruf-huruf Jawa, ha na ca ra ka, yang kemudian disusun terbalik untuk membuat kosakata baru.

Sapaan yang paling umum ialah 'hire, Dab?’ yang berarti ’piye, Mas?’. Salah satu suvenir terkenal Yogya bermerek ’Dagadu’ yang artinya ’matamu’.

Sekarang bahasa gali Yogya sudah jarang dipakai dan diganti dengan bahasa gaul alay khas anak milenial zaman now. Akan tetapi, tradisi premanisme jalanan di Yogya masih terus berlangsung sampai sekarang.

Baca Juga:

Salah satu yang viral sekarang adalah aksi kekerasan jalanan dengan sebutan ‘klitih’.

Beberapa hari terakhir aksi klitih membawa korban jiwa, sehingga muncul tagar #YogyaTidakAman. Memang klitih bukanlah hal baru, tetapi jika dilihat dari arti kata sebenarnya, maknanya sangat jauh dari aksi kekerasan maupun tawuran.

Istilah klitih merujuk kepada Pasar Klithikan Yogya. Secara etimologis klitih artinya ’killing time’ membunuh waktu dengan melakukan aktivitas yang tidak jelas dan bersifat santai sambil mencari barang bekas dan klithikan.

Istilah 'nglithih' digunakan untuk menggambarkan kegiatan santai seperti jalan-jalan menghabiskan waktu luang atau leisure time. Budaya itu diadopsi oleh anak-anak pelajar, tetapi kemudian terjadi deviasi atau penyimpangan menjadi budaya kekerasan.

Nglithih menjadi kegiatan jalan-jalan dengan mengendarai sepeda motor dan mencari sasaran lawan untuk dijadikan sparring partner tawuran. Nglithih berkembang menjadi aksi kriminal jalanan yang meresahkan.

Budaya kekerasan yang dilakukan oleh pelajar di Yogyakarta sudah ada sejak era 1980-an dan 1990-an. Kekerasan yang dilakukan pelajar pada masa itu dilakukan oleh dua geng besar yang yaitu Qzruh dan Joxzin.

Qzruh alias kisruh yang berarti ribut menguasai wilayah Yogyakarta bagian utara. Adapun Joxzin -akronim dari Joko Sinting atau Pojok Bensin atau Jogja Sindikat- menguasai Malioboro hingga SPBU Alun-alun.

Klitih mengalami pergeseran makna. Kini klitih identik dengan aksi kekerasan yang dilakukan oleh pelajar SMP dan SMA.

Baca Juga:

Istilah ini muncul untuk mengganti kata tawuran setelah peristiwa pembacokan yang marak terjadi sepanjang 2011 sampai 2012.

Geng-geng pelajar di Yogyakarta sering melakukan tawuran pada era 1990-an. Pada 2000-an, pemerintah kota setempat bertindak tegas dengan memerintahkan sekolah memecat pelajar yang terlibat tawuran.

Alih-alih meredam aksi, geng pelajar malah bergeser ke jalanan untuk mencari musuh. Sasarannya bukan hanya pelajar, melainkan juga masyarakat umum. Klitih menjadi model baru street crime, kejahatan jalanan, yang terorganisasi dan mulai ditunggangi kepentingan kriminal yang lebih serius oleh kaka-kakak kelas atau alumnus.

Struktur organisasinya pun kian berkembang, bukan hanya di sekitar Kota Yogyakarta, melainkan di beberapa wilayah lain, seperti Sleman dan Bantul. Pun korbannya tidak bisa diidentifikasi karena bersifat random.

Sejarah kriminalitas jalanan di Yogya merentang cukup panjang. Hal ini menjadi fenomena paradoks budaya, karena di satu sisi Yogya adalah jantung budaya Jawa yang refined, halus, tetapi di sisi lain menjadi salah satu daerah dengan tingkat kriminalitas tinggi.

Operasi pemberantasan penjahat jalanan terbesar di Indonesia terjadi pada masa 1980-an. Operasi yang dikenal dengan sebutan ’Petrus' (akronim dari pembunuhan misterius) itu dilakukan oleh tentara atas perintah Presiden Soeharto.

Petrus merupakan operasi pembunuhan sipil terbesar yang terjadi setelah peristiwa penumpasan anggota PKI pada 1965. Operasi Petrus pertama dilakukan di Yogya.

Sejarah kriminalitas jalanan di Yogya merentang cukup panjang. Operasi Petrus atau penembakan misterius juga berawal di Yogyakarta.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News