Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil Desak DPR Tunda Pengesahan RUU Pertanahan

Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil Desak DPR Tunda Pengesahan RUU Pertanahan
Gedung DPR RI. ILUSTRASI. Foto: Ist

Kelima, hak-hak atas tanah. Proses perumusan dan masalah-masalah mendasar terkait hak atas tanah. RUU pertanahan perlu secara matang dan penuh kehati-hatian dalam merumuskan hak-hak atas tanah, baik itu hak milik, hak guna usaha (HGU), hak guna bangunan (HGB), hak pakai, termasuk hak pengelolaan. Mengingat hak-hak yang selama ini diterbitkan, terutama hak dan ijin bagi perusahaan besar telah banyak mengakibatkan pelanggaran hak-hak warga, melahirkan ketimpangan struktur agraria, konflik agraria, kemiskinan hingga rusaknya lingkungan.

Keenam, Pengakuan wilayah adat. RUU tidak memiliki sensitivitas terhadap penyelesaian masalah agraria pada wilayah adat. RUU Pertanahan mengatur bahwa pengukuhan keberadaan hak ulayat dimulai dari usulan Pemerintah Daerah dan ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemerintahan dalav negeri. Skema seperti ini sama sekali tidak menjawab persoalan yang ada selama ini, yaitu bahwa pengakuan hak ulayat sulit dilakukan karena sangat politis melalui tindakan-tindakan penetapan pemerintah bukan berdasarkan usulan masyarakat adat sendiri.

Ketujuh, masalah sektoralisme pertanahan. RUU Pertanahan belum menjawab masalah ego-sektoral pertanahan di Indonesia (hutan dan non-hutan). RUU masih bias dan terbatas pada tanah dalam jurisdiksi Kementerian ATR/BPN RI, sementara masalah-masalah pertanahan bersifat lintas sektor; tanah di perkebunan, tanah di kehutanan, tanah di pertanian, di wilayah pesisir kelautan, pulau-pulau kecil, pedesaan dan perkotaan. Banyak tumpang tindih antar sektor.

Kedelapan, Bank Tanah. RUU mengatur kewenangan Bank Tanah secara berlebihan tanpa mempertimbangkan dampak dan tumpang tindih kewenangan antara Bank Tanah dan kementerian/lembaga. Beresiko terjadinya komoditisasi tanah secara absolut melalui Bank Tanah, yang akan memperparah ketimpangan dan konflik. Sebaiknya rencana ini dicabut dari drat.

Kesembilan, sarat kepentingan investasi dan bisnis. RUU ini kuat mengakomodasi kepentingan bisnis dan investasi perkebunan skala besar. Monopoli swasta, perampasan tanah, penggusuran, termasuk impunitas bagi para pengusaha perkebunan skala besar banyak diatur dalam RUU Pertanahan. Ini tercermin kuat, melalui Hak Pengelolaan instansi pemerintah dan rencana Bank Tanah.

Dengan demikian, RUU Pertanahan tidak akan menjawab masalah ketimpangan, konflik agraria, perampasan tanah, laju cepat konversi tanah pertanian, kerusakan ekologis akibat desakan investasi. RUU juga berpotensi menambah daftar panjang regulasi pertanahan dan UU sektoral lainnya yang saling tumpang tindih dan kontradiktif.(jpnn)

Daftar Nama Anggota Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil

1. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
2. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
3. Aliansi Petani Indonesia (API)
4. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
5. Solidaritas Perempuan (SP)
6. Rimbawan Muda Indonesia (RMI)
7. Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMA)
8. Yayasan PUSAKA
9. Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)
10. Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA)
11. Sajogyo Institute (Sains)
12. Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS)
13. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
14. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
15. Bina Desa
16. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)
17. Indonesian Center for Environmental Law (ICEL)
18. Serikat Petani Pasundan (SPP)
19. Serikat Nelayan Indonesia (SNI)
20. Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI)
21. Serikat Tani Indramayu (STI)
22. Serikat Tani Bengkulu (STaB)
23. Serikat Tani Tebo (STT-Jambi)
24. Serikat Petani Sriwijaya (SPS-Sumatera Selatan)
25. Forum Perjuangan Petani Batang (FPPB)
26. Serikat Petani Siantar Simalungun (SPSS)
27. Serikat Petani Majalengka (SPM)
28. Serikat Tani Independen (SEKTI-Jember)
29. Paguyuban Petani Aryo Blitar (PPAB)
30. Serikat Tani Konawe Selatan (STKS-Sulawesi Tenggara)
31. Serikat Petani Minahasa (SPM)
32. Serikat Tani Mandiri (SETAM) Cilacap
33. Himpunan Tani Masyarakat Banjarnegara (HITAMBARA)
34. Organisasi Petani Jawa Tengah (ORTAJA)
35. Serikat Petani Batanghari (SPB)
36. Pergerakan Petani Banten (P2B)
37. Rukun Tani Indonesia (RTI-Yogyakarta)
38. Serikat Petani Lumajang (SPL)
39. Serikat Tani Kerakyatan Sumedang (STKS)
40. Forum Peduli Kebenaran dan Keadilan Sambirejo (FPKKS) Sragen
41. Serikat Tani Amanat Penderitaan Rakyat (STAN AMPERA)
42. Forum Persaudaraan Petani Kendal (FPPK)
43. Serikat Tani Sumberklampok (STS - Bali)


Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil yang terdiri atas 43 organisasi dan NGO mendesak DPR untuk menunda pembahasan dan pengesahan RUU Pertanahan.


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News