Komunikasi Kematian

Oleh: Khafidlul Ulum

Komunikasi Kematian
Wartawan & Alumnus Magister Komunikasi FISIP UMJ Khafidlul Ulum. Foto: Dokumentasi pribadi

Orang lain yang tidak terpapar Covid-19 seolah-olah hanya tinggal menunggu giliran. Terpapar virus, kemudian isolasi mandiri di rumah atau dibawa ke rumah sakit.

Setelah itu hanya ada dua pilihan, menang melawan Covid-19, kemudian sembuh seperti sedia kala atau kalah, lalu meninggalkan dunia yang fana. Maka, ketakutan akan kematian menjalar cepat. Banyak manusia yang akhirnya berdiam diri di dalam rumah agar tidak terpapar virus.

Namun, bagi pedagang kecil dan masyarakat yang tidak mampu, mereka tetap keluar dari rumah dan menyebar di atas muka bumi untuk mencari penghidupan.

Mereka hanya mempunyai dua pilihan, mati karena Virus Corona atau mati karena kelaparan, karena tidak makan. Walaupun dilaksanakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) atau pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM), mereka tetap keluar.

Pesan kematian karena kelaparan lebih menakutkan daripada pesan kematian karena Covid-19. Yang jelas kematian menjadi hantu yang menakutkan. Di masa pandemi, kematian begitu sangat dekat.

Padahal, di hari-hari biasa, kematian memang sangat dekat, tapi banyak manusia yang tidak menyadarinya, karena tidak ada virus yang bernama Corona. Jadi, virus itulah yang menjadikan kematian begitu dekat.

Pesan kematian itu makin lekat di pikiran dan perasaan, karena disebar melalui media yang setiap saat kita pegang. Pesan menakutkan yang disebar melalui teknologi canggih, membuat kita kelabakan.

Maka, banyak yang akhirnya meletakkan alat komunikasinya dan sesaat menjauh darinya. Namun, itu kadang tidak berlangsung lama, apalagi ketika kabar duka datang dari orang dekat kita.

Pesan kematian di masa pandemi mungkin tidak pernah kita rasakan dan dengar sebelumnya. Musim pagebluk akan menjadi sejarah dan akan terus diingat bagi orang-orang yang hidup di zaman itu.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News