Korban Peradilan Sesat Desak Pemeriksaan Jaksa dan Hakim

Korban Peradilan Sesat Desak Pemeriksaan Jaksa dan Hakim
Ketua Dewan Pembina Lembaga Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian (Padma) Indonesia dan Koalisi Masyarakat Pemberantasan Korupsi (Kompak) Indonesia Gabriel Sola (kanan). Foto: Dokumentasi pribadi

Gabriel mengatakan banyak kejanggalan sejak awal penahanan oleh polisi hingga vonis 4 bulan di PN Jakarta Pusat dengan putusan Nomor 485/Pid.B/2021/PN Jkt.Pst tanggal 1 Desember 2021.

Tuduhan sepihak dari Polres Metro Jakarta Pusat didukung Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Negeri Jakarta (PN) Pusat tidak mempunyai dasar hukum.

Tindakan ‘pemaksaan’ itu terkesan untuk menunjukkan keberhasilan pada pimpinan penegak hukum dan menguatkan dugaan adanya ‘tekanan’ dari pihak tertentu.

Seperti diketahui, Kapolres Metro Jakarta Pusat Komisaris Besar Polisi Hengki Haryadi, Kamis (8/4/2021), mengatakan telah mengamankan sejumlah tersangka dalam kasus penguasaan tanah di Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat.

Adapun lahan yang disengketakan sebenarnya milik dari Induk Koperasi Kopra Indonesia dengan sertifikat Hak Guna Bangunan No.567 atas nama JAJASAN KOPRA. Sebelum menahan Devid dan Effendi, Polres Jakarta Pusat menangkap delapan orang preman berinisial HK, EG, RK, MH, YB, WH, AS, dan LR yang diduga menguasai lahan itu, serta AD yang merupakan oknum pengacara.

Untuk itu, kata Gabriel, pihaknya mendesak Komisi Kejaksaan, Jaksa Agung Muda Pengawasan dan Jaksa Agung untuk memeriksa dan menindak tegas Jaksa Penuntut Umum dalam kasus Bungur. Selain itu, mendesak Komisi Yudisial (KY), Badan Pengawasan Mahkamah Agung (Banwas MA) dan Ketua MA untuk memeriksa dan menindak Majelis Hakim di PN Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi DKI yang tetap memaksakan peradilan sesat yang dipaksakan Jaksa Penuntut Umum dalam kasus Bungur.

“Ini peradilan sesat karena terjadi diskriminasi dan menyebabkan kriminalisasi pada korban yang dituding sebagai mafia tanah. Jaksa dan hakim harus segera ditindak oleh para pihak yang berwenang,” tegas Gabriel.

Sejak awal, kata Gabriel, korban yang mendapat kuasa dari pemilik tanah yang sah sudah berusaha meluruskan dan menilai ada ketikadilan dalam kasus tersebut.

Gabriel Sola selaku Ketua Dewan Pembina Padma Indonesia menegaskan peradilan sesat karena terjadi diskriminasi dan menyebabkan kriminalisasi pada korban yang dituding sebagai mafia tanah.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News