Krong-krong…Crong-crong, Lahirlah Musik Keroncong

Krong-krong…Crong-crong, Lahirlah Musik Keroncong
Koko Thole, satu di antara penggiat musik keroncong dalam sebuah acara. Foto: Wenri Wanhar/JPNN.com.

Alkisah bermula ketika VOC menyerang Pulau Banda pada 1620-an. Laskar Portugis yang bertugas di pulau tersebut kabur memboyong serta istri-istri mereka pribumi Banda.

Dalam pelarian, kapalnya karam di sekitar pantai Cilincing, Batavia. Mereka ditangkap VOC. Kemudian dibebaskan dan diberi tanah di Kampung Tugu dengan syarat memeluk agama Protestan.

Serdadu pelaut dari pihak Portugis yang ditawan itu umumnya terdiri dari orang-orang Arab, India, Sri Langka, Benggalen, Malaka, Ambon dan lain sebagainya. 

Sedang orang-orang Portugis asli atau Portugis berkulit putih pada umumnya berhasil melarikan diri.

Karena kebanyakan tahanan tersebut berkulit hitam, penduduk setempat menjuluki mereka; Portugis hitam.

“Jika di antara para tahanan itu ada yang berkulit putih, mereka adalah orang-orang peranakan atau yang sebut metitzo,” tulis Bambang Roeseno.

Mereka menggunakan bahasa pasaran yang dimengerti semua pihak, yakni bahasa Melayu. Dan orang-orang inilah yang disebut-sebut pencetus musik keroncong.

Tempo hari, media ini bertandang ke kampung itu. Di sana, memang masih ada tradisi berkrong-krong dan bercrong-crong. 

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News