Kudeta

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Kudeta
Italia, juara EURO 2020. Foto: Twitter@EURO2020

Saat-saat menuju adu penalti adalah saat-saat seluruh pemain Inggris digiring menuju penjagalan Guillotine. Wajah pucat pasi dan kaki gemetar. Tidak ada aura kemenangan yang terpancar. Seolah-oleh mereka semua sudah pasrah menghadapi takdir.

Seolah mereka semua menyerah menghadapi kutukan. Inggris tidak pernah menang dalam adu penalti di babak semifinal di berbagai major tournament. Kali ini Inggris maju hanya selangkah dan terhenti.

Inggris sudah berhasil mengatasi trauma melawan Jerman. Kemenangan 2-0 di 16 Besar disambut gegap-gempita di seluruh negeri. Inggris merasa sudah bisa menghapus trauma masa lampau karena selalu kalah melawan Jerman di babak penting turnamen besar.

Pemain-pemain Inggris yang rata-rata masih berumur likuran awal, tidak pernah punya kenangan terhadap Jerman.

Itulah yang membuat mereka tidak punya beban sejarah melawan Jerman. Penampilan anak-anak muda, Raheem Sterling, Jadon Sancho, Marcus Rashford, Bukayo Saka, Calvin Phillips, Mason Mount, dan Declan Rice, memberi harapan besar bahwa sepak bola Inggris mempunyai masa depan cerah.

Namun, sekarang Inggris berkutat dengan mimpi buruk baru. Alih-alih menghapuskan trauma kalah di adu penalti, Inggris justru mewariskan trauma itu kepada pemain-pemain muda yang harusnya tidak punya dosa.

Dalam setiap pertandingan besar, sebuah detail kecil akan menentukan sejarah. Pelatih Gareth Southgate dipuja bak dewa di seluruh negeri, karena berhasil membuktikan kehebatannya dalam menyusun strategi dan memilih pasukan yang tepat.

Namun, pada babak adu penalti itu semuanya seperti lenyap. Kemarau setahun tersapu hujan semalam.

Tiga algojo yang dipilih Gareth Southgate adalah anak-anak kecil. Belum jangkap nyawanya ketika ditunjuk sebagai algojo.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News