Laut Bercerita

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Laut Bercerita
Ilustrasi demo mahasiswa: Ricardo/JPNN.com

Membaca karya sastra yang radikal dianggap dapat memicu kekacauan politik dan perkumpulan massa dapat dicurigai sebagai gerakan subversif yang memusuhi pemerintah.

Sebagai mahasiswa sastra Laut membaca banyak karya literatur asing dan dalam negeri. Novel-novel Pramoedya Ananta Toer ia baca secara diam-diam, karena ketika itu tindakan ini menjadi kejahatan yang bisa berakhir di penjara atau di kuburan.

Laut dan sahabatnya memperjuangkan keadilan meskipun nyawa mereka dibayangi oleh penghilangan secara paksa atau tembak di tempat.

Mereka diculik, dikurung, disiksa, dan diinterograsi, tanpa pernah tahu dimana mereka berada saat menjalani momen tragis itu.

Penyiksaan mereka akan berakhir dengan dibuang tanpa tersisa atau dipulangkan apabila mereka beruntung.

Maret 1998 mereka diculik, disiksa, dan diinterogasi dengan tidak manusiawi. Laut, Sunu, Kinan, Bram, seorang penyair, dan beberapa kawan hilang tanpa jejak setelah disekap.

Ada lima orang yang dikembalikan dalam keadaan hidup. Setelah rezim runtuh pada Mei 1998, mereka pelan-pelan mulai mampu bersuara atas kekejaman yang mereka alami.

“Setiap langkahmu, langkah kita, apakah terlihat atau tidak, apakah terasa atau tidak, adalah sebuah kontribusi, Laut. Mungkin saja kita keluar dari rezim ini 10 tahun lagi atau 20 tahun lagi.

Kisah nyata para korban penculikan dan penghilangan paksa itu diceritakan oleh wartawan dan novelis Leila S. Chudori dalam novel Laut Bercerita.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News