Lomba Pengeras

Lomba Pengeras
Dahlan Iskan (Disway). Foto: Ricardo/JPNN.com

Menjelang jam 12.00 ada pengumuman ''inna lillahi'' lagi. Dari pengeras suara masjid yang sama. Saya pun –tanpa menilingkan telinga– tahu: ada yang meninggal lagi.

Baca Juga:

Masih sambil mengangkat batu saya tahu: yang meninggal kali ini laki-laki. Namanya Pak San.

Saya kaget. Jangan-jangan rekan kerja saya itu. Rekan mencangkul itu namanya Pak Kasan. Pak Kasan tinggal di desa itu: di arah pengeras suara itu.

Saya lega. Ternyata Pak San yang baru meninggal itu bernama Santoso.

Saya pun pasrah. Berarti partner saya berkebun akan melayat lagi. Ia akan lebih mementingkan etika daripada kehilangan jabatan sebagai pencangkul.

Target pindah-pindah pohon hari itu pun meleset.

Di Tiongkok tidak ada target yang meleset –oleh penyebab seperti itu. Ketika tetangga meninggal pekerjaan jalan terus.

Tanpa mengabaikan etika bertetangga. Mereka bisa melayat malam hari. Atau keesokan harinya. Bila perlu di hari ketiga, keempat, kelima atau kapan saja sempat: mayat umumnya baru dikubur tujuh hari kemudian.

Pengumuman dari masjid itu sekaligus berfungsi sebagai 'surat izin tidak masuk kerja'. Bos tidak boleh menanyakan kenapa tidak masuk.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News