Masa yang Sulit Cari Pemimpin

Oleh Dahlan Iskan

Masa yang Sulit Cari Pemimpin
Masa yang Sulit Cari Pemimpin

Donald Trump sangat tidak dikehendaki partainya. Tapi, justru dia yang sering memenangi pemilihan awal. Terutama di negara-negara bagian di selatan. Posisi partai menjadi sulit. Maka di sisa pemilihan ini, partai mengusahakan agar Trump tidak menang terus. Kalau toh menang, jangan sampai lebih dari 50 persen.

Gerakan ’’asal bukan Trump’’ itu berhasil. Di Negara Bagian Wisconsin, Trump kalah. Hari ini (19 April) pemilihan awal dilakukan di ’’gudang suara’’ terbesar kedua setelah California: New York. Kalau sampai Trump kalah lagi di New York, emosinya bisa lebih tinggi dari gedung pencakar langit miliknya: Trump Tower yang 68 lantai itu.

Sudah beberapa minggu ini Trump uring-uringan. Yakni, sejak tersiar ide ini: Kalau tidak menang 50 persen + 1, Trump tidak akan otomatis jadi calon presiden Partai Republik. Calon presiden akan ditentukan oleh konfensi partai. Bisa dia, bisa penenang kedua, bahkan bisa dari luar arena. Begitulah bunyi anggaran dasar partai.

Kalau sampai itu terjadi, Trump merasa dirampok. Dikerjain. Disakiti. Mungkin mirip perasaan Megawati saat partainya menang Pemilu (1999), tapi tidak bisa jadi presiden.

Partai Republik benar-benar sulit. Kalau mencapreskan Trump, pasti akan kalah. Begitulah hasil semua survei. Bahkan lebih dari itu. Dalam pemilu legislatif dua tahun kemudian, caleg-caleg Republik akan bertumbangan. Bisa jadi DPR yang selama ini dikuasai Republik akan jatuh ke Demokrat. Republik kehilangan dua posisi: presiden dan DPR.

Maka mulailah muncul calon alternatif: Paul Ryan. Populer sekali. Juga ganteng sekali. Seperti bintang film. Jabatannya sekarang: ketua DPR. Dia mantan gubernur Wisconsin yang sukses. Dialah yang dianggap mampu menandingi Hillary Clinton dalam pilpres November mendatang.

Nama Paul Ryan langsung melejit. Tapi, itu menyiksa batinnya.

Minggu lalu dia mengadakan konferensi pers: menolak keinginan itu. Tidak akan mau dan tidak akan pernah mau. Bukan pura-pura tidak mau. Inilah prinsip moral demokrasinya: Calon presiden haruslah mereka yang memang sejak awal mendaftarkan diri sebagai calon presiden.

HILLARY Clinton terlalu tua. Dalam pengertian dari sudut pergantian generasi. Diragukan apakah dia memahami perubahan zaman. Ted Cruz terlalu lokal.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News