Membendung Langit

Membendung Langit
Membendung Langit

jpnn.com - KISARAN dua jam, saya duduk di Ruang Rapat Eks Komisi I Gedung Nusantara DPR RI, Senayan, Jakarta, bersama kawan-kawan yang mewakili media nasional. Ini ada lah lanjutan dari Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi I, yang semestinya sudah dilangsungkan pekan lalu, 17 November 2011, pukul 09.00. Kala itu, rapat batal, gara-gara kami ’’balik kanan’’ dan meninggalkan ruang sidang yang terhormat, setelah menunggu sejam, sampai pukul 10.00 tet, belum ada rambu-rambu RDPU bakal dimulai. Kemarin, sebelum 14.00, sudah banyak anggota dewan yang sudah stand by, termasuk Arif Wibowo, Ketua Pansus RUU Perubahan atas UU No 10 tahun 2008, tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD itu. Senang juga berjumpa anggota Komisi I yang mengundang kami untuk share soal media, yang menjadi salah satu faktor dalam pemilu.

Dalam suratnya, kami diminta menjelaskan soal mekanisme pembagian slot iklan dan pembiayaan kampanye? Apakah media menyiapkan slot untuk parpol-parpol? Bagaimana mekanisme pembatasan iklan parpol? Terjadikah? Bagaimana regulasi iklan bagi peserta pemilu? Kawan-kawan yang mewakili media nasional sudah menjawab dengan cerdas dan tepat. Iklan itu domain bisnis dalam industri media. Iklan itu karya kreativitas, dan kreativitas itu unlimited. Batasnya langit yang tak berbatas. Konon langit itu lapis tujuh, tapi sejauh ini saya belum pernah melihat tapal batasnya? Perkembangan iklan kreatif saat ini, luar biasa pesat. Tidak lagi hitungan milimeter kolom di atas kertas koran.

Tidak lagi menghitung frekuensi pemuatan. Tidak lagi dihitung dari space dan color yang di pakai. Itu term iklan 5-10 tahun silam, yang konvensional. Saya yakin, ke depan, konsep beriklan itu terus bermetamorfosis. Kian atraktif, makin tak terduga, makin mengagetkan. Semakin persepsional, kaya makna, semakin dekat di hati dan kepala. Lalu apa yang mau dibatasi? Darimana regulasi pembatasan itu dimulai? Kalaupun saat ini dirancang tali pengikat, enam bulan sampai satu tahun lagi konsep aturan itu sudah jauh tertinggal dua tiga level dari lompatan kreativitas iklan.

Apa tidak sia-sia, menghabiskan energi untuk sesuatu yang masih sangat liquid? Atau yang akan dibatasi nilai dan harga maksimal iklan? Atau aturan diskon sampai dengan persentase berapa? Apa itu tidak terlalu teknis? Sedangkan setiap perusahaan punya logika bisnis sendirisendiri? Kelak, bicara iklan itu sangat integrated. Dari konsep, desain, copyright, place ment, pilihan nomor halaman, pilihan kiri dan kanan halaman, pilihan posisi atas-bawah-tengah, center, pilihan warna, sampai ukuran di media. Milimeter kolom itu hanya bagian kecil dan paling simple saja. Karena itu, seperti yang saya sampaikan di sidang terhormat, pembata san itu tidak mungkin. Kalaupun dipak sakan, hanya akan meninggalkan “kesulitan” di tingkat implementasi. Sekarang saja, iklan itu sudah bisa mengambil space di halaman cover, seperti beberapa kali di Jawa Pos.

Sudah membungkus Koran-nya seperti kado di The Straits Times Singapore. Sudah tembus pandang 8 halaman dan bisa bersuara di The Times of India, Mumbai. Mana mungkin membendung kreativitas? Sama dengan menggaris batasbatas langit? Iklan itu bisa menjelma seperti parfum, bisa dicium wanginya, tapi tidak kelihatan bentuk rupanya. Iklan bisa seperti mobil mewah, yang amat menonjol dan keren di parkiran Gedung Dewan. Iklan juga bisa seperti wanita cantik, yang melenggang di kerumunan pria-pria, dan membuat suasana menjadi senyap. Iklan itu olah cip ta dan olah karya untuk memberi kesan! Sekaligus mengisi pesan. Itulah dunia imaginasi iklan yang tak berbatas.

Lalu bagaimana dengan tokoh atau parpol yang berduit? Yang punya capital, dia mampu beriklan lebih banyak? Kan kasihan yang tidak punya modal? Nanti negeri ini bisa terjebak dalam kapitalisme? Saya puji jawaban kawan-kawan Kompas, Media Indonesia, Gatra dan Republika atas pertanyaan itu. Tidak ada korelasi yang signifikan antara frekuensi tayang iklan politik dengan elektabilitas seseorang. Publik itu semakin pintar. Mereka tidak gampang dibujuk rayu. Mereka punya logika sediri. Mereka melihat track record seorang tokoh. Publik itu bukan kertas putih yang apapun isi me dia, dia akan ikut memberi warna? Percayalah, jangan pernah meremehkan persepsi publik.

Pembaca media itu makin kritis, dan sensitif terhadap makna-makna pesan. Media pun dikontrol dikontrol banyak pihak, ada media watch, ada Dewan Pers, ada Ombudsman, dan yang paling menakutkan adalah kontrol pembaca dan pelanggan. Ka lau yang terakhir itu sudah complain, wah itu sudah seperti disambar petir di siang bolong. Berhari-hari kami merapatkan, membahas dan melakukan perubahan. Karena merekalah konstituen riil kami, yang belum tentu satu irisan dengan konstituen parpol. Jadi, lagi-lagi itu semakin menguatkan kami bahwa, tidak mungkin membatasi iklan politik di media. Bagaimana dengan yang tidak punya capital? Ya, mereka harus lebih kreatif.

Harus lebih pintar mengemas aneka ruang publik yang bisa mengangkat image-nya. Mereka ha rus bisa menciptakan momentum yang secara jurnalistik mengundang keingin tahuan publik. Media pun tidak akan lari dari hukum “ketertarikan” jurnalistik tersebut. Lalu pertanyaan lain, apakah ada slot iklan buat semua parpol? Lagi-lagi, hukum pasar berlaku. Media tidak akan menolak iklan politik. Tetapi, tidak mungkin memberikan free iklan politik secara bergilir kepada semua parpol, un tuk dimanfaatkan secara cuma-cuma.

KISARAN dua jam, saya duduk di Ruang Rapat Eks Komisi I Gedung Nusantara DPR RI, Senayan, Jakarta, bersama kawan-kawan yang mewakili media nasional.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News