Menakar Peluang Capres Alternatif: Anies Vs Gatot

Menakar Peluang Capres Alternatif: Anies Vs Gatot
Anies Baswedan. Foto: Ricardo/JPNN.com

Lalu siapa yang paling berpeluang di antara keduanya? Menurut Zaenal yang juga Pengajar FISIP Universitas Al Azhar Indonesia ini, sejak Pilpres langsung 2004, kita masuk ke dalam era demokrasi media. Ini bukan term akademik, melainkan fenomena empirik yang terjadi di Indonesia.

Menurutnya, SBY dan Jokowi—dua presiden hasil pilpres langsung memiliki banyak perbedaan. Namun persamaannya, keduanya mampu memanfaatkan media secara baik, yang pasa akhirnya menghasilkan dampak elektoral.

SBY dikenal sebagai sosok yang cakap saat berbicara di media. Sementara Jokowi membawa media terus memburunya karena aksi-aksinya di lapangan yang berbeda dari banyak politisi lainnya.

Semakin ke sini, demokrasi media tak hanya menjual kemasan (pencitraan), sebaliknya masyarakat mulai menuntut substansi. Setidaknya itu yang terlihat pada Pilgub DKI Jakarta 2017, dimana debat menjadi titik tolak meroketnya elektabilitas Anies Baswedan, setelah selalu tertinggal dari Ahok dalam beberapa bulan sebelumnya.

Di pilpres 2019, kata Zaenal Budiyono, debat masih akan memberi pengaruh signifikan terhadap elektabilitas kandidat. Dalam kasus Gatot vs Anies, tanpa mengecilkan kemampuan debat Gatot, tampaknya Anies sedikit lebih unggul. Rekam jejak Anies di dunia aktivis, akademisi hingga politisi dan birokrat sangat dekat dengan tradisi debat. Sementara Gatot dengan latar belakang militer justru lebih dekat dengan tradisi komando.

“Kesimpulannya, sebagai aktivis Anies sedikit diuntungkan dengan sistem pemilihan langsung,” katanya.

Tidak hanya dalam konteks demokrasi media, Zaenal Budiyono menilai kinerja Anies selama memimpin Jakarta juga tak bisa dipandang sebelah mata. Ia bahkan sudah menyamai keberanian Ahok dalam menantang pemain-pemain lama di Ibu kota. Mulai dari menutup Alexis, menginvestigasi gedung-gedung pencakar langit di Jakarta, hingga menghentikan proyek ratusan triliun, reklamasi teluk Jakarta.

“Semuanya adalah kasus-kasus raksasa yang tak mudah dilakukan oleh pemimpin kelas medioker,” katanya.

Zaenal A Budiyono menilai menguatnya popularitas hastag #2019GantiPresiden menunjukkan masyarakat menginginkan capres anternatif.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News