Mengapa Singapura Bisa Indonesia Tidak?

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Mengapa Singapura Bisa Indonesia Tidak?
Warga memakai masker pelindung menyeberang jalan di tengah penyebaran penyakit Covid-19 di Singapura. Foto: ANTARA/REUTERS/Caroline Chia

Ia mundur sebagai perdana menteri pada 1990. Dengan cerdik ia memberikan kuasa kepada Goh Chok Tong, dan ia berdiri di belakang sebagai menteri senior, sampai putranya Lee Hsien Liong naik jadi perdana menteri pada 2004 sampai sekarang.

Gejala ketidakpuasan itu tampaknya kian mengeras. Namun, Lee tetap pada pendiriannya. Dia percaya sistem di Singapura ini akan bertahan 50 atau 100 tahun di lingkungan dunia yang memberikan peluang maksimal melalui globalisasi.

Resep politik dan kapitalisme gaya Lee kini boleh dicatat paling berhasil. Otoritarianisme gaya Singapura, yang disebut Lee sebagai “The Asian Value’’ atau Nilai Asia, kini menjadi virus kapitalisme otoriter, yang banyak ditiru di berbagai belahan dunia.

China di bawah Xi Jinping mengadopsi gaya pemerintahan Lee. Varian kapitalisme-otoritarian itu diterapkan dengan gaya masing-masing oleh Vladimir Putin dan Recep Erdogan di Turki. Negara-negara itu menjadi simpul kekuatan baru dengan menerapkan sistem ekonomi kapitalistik, tetapi dengan sistem politik yang terkontrol.

Filosof Marxis, Slavoj Zizek menyebut gaya ini sebagai virus yang menular dengan cepat ke berbagai penjuru dunia. Tuntutan derap kemajuan ekonomi yang melanda konsumen di seluruh dunia memberi justifikasi kepada para pemimpin despotik itu untuk mendapatkan legitimasi.

Gaya despotik lama yang otoriter sudah mengalami modifikasi. Para pemimpin despotik baru tetap menerapkan koridor demokrasi formal untuk mendapatkan legitimasinya. Pemilu tetap diselenggarakan secara rutin meskipun pelaksanaannya dikontrol dan dikendalikan.

Oposisi tetap ada meskipun hanya sekadar pajangan. Media tetap diberi kebebasan, tetapi pengaruhnya diperkecil melalui berbagai macam propaganda yang dikendalikan pemerintah.

Godaan untuk menjadi negara makmur tanpa demokrasi menjadi virus yang merebak cepat. Singapura sukses dengan cara itu. Negara menjadi makmur meskipun tidak ada kebebasan demokrasi.

Singapura mengenal takut, Indonesia tidak takut apa pun, bahkan kepada Tuhan pun tidak.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News