Menyengkeram dan Dicengkeram

Menyengkeram dan Dicengkeram
Menyengkeram dan Dicengkeram

Sepanjang sejarah Orde Baru, Golkar lebih berfungsi sebagai stempel bagi seluruh kebijakan pemerintah. Termasuk dalam sidang umum MPR yang hendak memilih presiden, selalu saja disusun berbagai kriteria yang hanya klop dengan Pak Harto. Sampai- sampai ketika Pak Harto sudah miris kembali dipilih menjadi presiden pada sidang umum MPR 1997 lalu, namun bos Golkar, Harmoko, mengatakan bahwa Pak Harto masih dicintai rakyat. Uniknya, yang empunya diri sudah mulai merasa TOP, sebuah singkatan yang menggambarkan Pak Harto sudah uzur.

Padahal, Pak Harto hanya manusia biasa, yang bisa khilaf, alpa, naif, fana, keliru bahkan salah. Terbukti sebuah TAP MPR menyebutkan rezim Orde Baru telah menelorkan KKN, yang sekarang menjadi musuh bersama masyarakat dan pemerintah.

Memang, tiada insan supermen. Tiada lagi dewa-dewa yang turun dan kahyangan menjadi pemimpin di bumi. Bahkan Bagong, dewa yang turun ke bumi, dan menyaru menjadi manusia telah hilang saktinya ketika ia ingin merebut kekuasaan, seperti pernah diadaptasikan oleh Nano Riantiarno melalui lakon Teater KOMA.

Kekuasaan yang sentralis, menjadi presiden, menteri, pimpinan dan anggota parlemen sekaligus menjadi politikus di partai asalnya, atau hanya sekedar menjadi pengurus partai dengan kedudukan sentral, sebetulnya bagus- bagus saja bila berada di tangan seorang yang BAIK, dengan huruf kapital. Yang teruji, tak mudah tergoda oleh keluarga, rekan termasuk oleh dirinya sendiri, sekaligus adil, jujur dan bijaksana. Adakah gerangan tokoh “sehebat” itu dalam sejarah bangsa ini?

Seberapa jauh gerangan cengkeraman politikus, apalagi seorang ketua umum maupun tokoh dan kader partai ketika dirundung, atau menghadapi masalah

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News