Menyengkeram dan Dicengkeram

Menyengkeram dan Dicengkeram
Menyengkeram dan Dicengkeram
Saban politikus yang meraih jabatan publik di pemerintahan adalah kesinambungan dari jabatan publik di partai. Ketika seseorang menjadi presiden, wakil presiden atau menteri di kabinet, lalu ia meninggalkan partai yang telah mengantarkannya ke pucuk piramida kekuasaan, adalah sebuah pengkhianatan kepada partai. Seolah-olah partai hanya jembatan penyeberangan. Lupa kacang di kulitnya.

Sebaliknya, para tokoh dan kader partai yang masuk ke dalam tubuh kekuasaan, tidaklah patut menelantarkan rekannya, apalagi bosnya, dari mana ia berasal, karena dia dan “teman-teman” separtai atau sekoalisi adalah perpnjangan tangan partainya. Sikapnya di kabinet dan parlemen, bagaimana pun tak boleh bertentangan dengan aspirasi dan inspirasi partainya.

Tentu ada yang mengatakan, bahwa seorang politikus di kabinet dan parlemen dituntut mempunyai kesadaran yang canggih ketika ia menjalankan fungsinya, dan membedakannya sebagai orang parpol. Dibutuhkan seni yang piawai. Tatkala menjadi pengurus dan kader partai, ia akan berlaku sebagai kuping, tangan, otak, hati dan mulut rakyat yang disalurkannya melalui anggota parlemen atau di tubuh kabinet. Bukan membela kolega politiknya yang bersalah. Gampang dalam teori tak mudah dalam praktek.

Fatsoen Politik

Namun fenomena masa-masa ini tak sedahsyat praktek Orde Baru. Presiden Soeharto adalah Ketua Dewan Pembina Golkar, dan semua menteri menjadi anggota Dewan Pembina. Secara hirarkis, struktur itu juga berlaku di tingkat provinsi, kabupaten dan kota. Dikenal pula istilah jalur ABG, yakni ABRI, Birokrasi dan Golkar, sebuah forum dalam mekanisme pengambilan keputusan di Golkar. Walau dalam praktek, forum ABG itu hanya sekedar menerjemahkan kehendak Presiden Soeharto belaka.

Seberapa jauh gerangan cengkeraman politikus, apalagi seorang ketua umum maupun tokoh dan kader partai ketika dirundung, atau menghadapi masalah

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News