Merayakan Kehilangan Atas Tanah

Oleh: Abdul Kodir

Merayakan Kehilangan Atas Tanah
Staf Pengajar Jurusan Sosiologi dan Tim Peneliti di Pusat Studi Bencana, Mitigasi, dan Lingkungan – Universitas Negeri Malang, Abdul Kodir. Foto: Dokpri

Seperti yang kita saksikan, sebagian besar masyarakat yang terdampak adanya pembangunan menilai bahwa hasil penjualan tanah tersebut merupakan sebuah berkah yang harus dinikmati.

Akan tetapi sebenarnya, hasil yang diperoleh atas penjualan tersebut bisa dikatakan dalam harga yang normal dikarenakan lahan yang mereka jual merupakan lahan produktif. Artinya, jika tanah tersebut masih mereka pertahankan, dapat diwariskan kepada anak cucu mereka kelak.   

Pembangunan dan Kuasa Eksklusi

Bagi penganut paham developmentalism, pembanggunan adalah keniscayaan. Mau tidak mau, suka atau tidak suka, kita harus menerima sebuah wacana tersebut.

Karena bagaimanapun pembangunan senantiasa membutuhkan sebuah alas untuk memanifestasikan proyek tersebut baik yang digerakkan oleh kepentingan pemerintah ataupun pihak swasta (Rachman, 1997).

Akan tetapi, satu hal yang luput pengamatan publik luas bahwa pembangunan adalah satu rangkaian proses pencegahan masyarakat untuk mendapatkan akses atas tanah.

Menurut Hall, Hirsch, dan Li (2011) proses ini disebut eksklusi. Proses eksklusi tidak dimaknai dalam arti yang sempit ataupun negatif, yang berarti bahwa proses penyingkiran masyarakat atas tanah melalui pendekatan pemaksaan yang disertai dengan kekerasan.

Namun proses eksklusi tersebut bisa terjadi berkelindan dengan kekuasaan dan aturan hukum yang berlaku.

Tanah adalah properti materiel yang dapat dijadikan komoditas karena nilai investasi yang dimiliki. Namun, tanah juga memiliki nilai sosial dan budaya yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan masyarakat.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News